Friday, August 3, 2012

Kiprah Bisnis Pendidikan Cucu Ki Hajar Dewantoro

Hits : 454 PDF Cetak E-mail
Jumat, 03 Agustus 2012 08:24
antarina0712Buah jatuh  tak jauh dari pohonnya. Begitulah kiasan yang pas bagi Antarina SF Amir, CEO Highscope Indonesia. Keberhasilannya membangun dunia pendidikan di Indonesia tidak lepas dari pengaruh besar sang kakek, Ki Hajar Dewantoro.

Ya, Antarina berhasil mewujudkan impian bisnisnya dengan mendirikan sekolah internasional Highscope di tahun 1996. Bermodal Rp 500 juta, ia mengembangkan empat level program pendidikan di sekolahnya tersebut. Keempat level tersebut adalah Early Childhood Educational Program (ECEP) untuk anak-anak usia 18 bulan – 5 tahun, Elementary (setingkat SD) mulai TK B (anak usia 5 tahun) – kelas 5, Middle School (setingkat SMP) mulai kelas 6 – 8, dan High School (setingkat SMA) mulai kelas 9 – 12.

Di sekolah internasional tersebut, Antarina tidak menganut sistem pendidikan tradisional. Ia menerapkan cara modern dengan metode pengajarannya tergantung kepada masing-masing siswa (metode student centered). Jadi si anak boleh memilih pelajaran sesuai dengan kelas dan ketertarikannya.

Bagaimana awal mula Antarina menerapkan sistem tersebut? Ternyata begini kisahnya. Dulu pada saat ia berekolah S2 di Amerika, ada seorang profesor yang membukakakn matanya mengenai dua paradigma sistem pendidikan.

"Profesor yang mengajar bilang, sistem pendidikan tradisional mengajarkan gambar bunga harus selalu merah dan daun berwarna hijau. Sang profesor kemudian membacakan sebuah puisi karya Harry Chaplin berjudul "Flowers are Red," yang berkisah seorang anak yang depresi karena tak boleh menggambar bunga dengan warna yang lain. Akhirnya hidupnya pun terbentuk statis. Sistem pendidikan seperti itu tidak mendorong kreativitas, ambition, curiousity, sense of adventure, dan sebagainya," kata lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI), Clarion University of Penssylvania, Master of Business Administration dan Master of Science di University of Pittsburg, Pennsylvania, AS ini.

Lain halnya dengan paradigma baru pendidikan, yaitu konstruktivis. Membentuk pengetahuan sendiri, dengan cara belajar investigative dan inquiry (tanya jawab). Anak yang berbakat bukan hanya karena taat pada guru, tetapi yang kreatif dan produktif, serta bisa mengambil keputusan sendiri dan percaya diri. Ada keseimbangan antara pengetahuan kognitif, sosial dan emosional. Anak tidak merasa terforsir, melainkan terstimulasi dan termotivasi.

“Dari situ akan lahir bunga yang tak hanya merah, tapi boleh berwarna-warni. Saya ingin menjadi orang yang membantu melahirkan bunga berwarna-warni itu.”

Nah, berangkat dari situlah, Antarina lantas bertekad untuk membenahi sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan sejak dini. “Kalau orang berpikir untuk membenahi SDM dari tingkat universitas, itu salah besar. Karakter dan skill harus dibentuk sejak dini, dari pra sekolah sampai SMA. Di bangku kuliah harusnya belajar bagaimana mengambil keputusan, ” ujar perempuan yang juga tercatat sebagai dosen UI ini.

Meski demikian, apa yang ditawarkannya Highscope ternyata tak langsung diterima masyarakat. Saat pertama membuka sekolah, murid awal Highscope hanya 8 siswa. Namun Antarina terus berjuang. Ia terus mengedukasi orang tua murid, bahkan sekarang menjadi salah satu strategi marketingnya yaitu community base. Dari mulut ke mulut ia kelola supaya terus menyebar, sambil meningkatkan kemampuan para pengajar dalam mengedukasi.

“Pernah saya sampai jam 01.30 WIB harus menghadapi orang tua. Dia bertanya mau dibawa kemana anak saya? Dia hanya berpikir akademis, padahal karakter dan skill kan baru 10-20 tahun kemudian bukti nyatanya. Alhamdulillah anak-anak yang kemarin di pra sekolah, kini sudah masuk ke universitas dan terlihat hasilnya. Saya katakan, kalau Anda percaya silahkan datang, kalau tidak silahkan pergi. Orang-orang yang meninggalkan saya akan menyesal di kemudian hari,” paparnya.

Dengan berbekal perjuangan yang pantang menyerah itu, pelan namun pasti akhirnya Highscope mampu menjadi salah satu sekolah internasional yang besar di negeri ini. Saat ini Highscope memiliki 10 unit sekolah yang tersebar di Jakarta, Bandung, Medan dan Bali. Dalam waktu dekat, akan dibuka juga cabang di Surabaya, Riau dan Palembang. Tercatat 2.500 siswa terdaftar bersekolah di Highscope Indonesia, ditangani 500 tenaga pengajar.

Bisnis pendidikan ini pun berkembang besar dengan keuntungan lebih dari Rp 10 miliar per tahun. Dana yang didapatkan, diputarnya terus memperkuat kualitas SDM dan fasilitas, sehingga tak tanggung-tanggung Highscope merogoh kocek Rp 2 miliar per tahun guna membiayai penelitian dan pengembangan pendidikan.

“Obsesi saya ke depan ingin melakukan kerja sama internasional. Sekarang sudah ada teman-teman dari HighScope Cina dan Amerika Latin belajar ke kami. Bentuk kerja samanya masih saya pikirkan. Saya juga akan bicara ke Highscope AS, namun begitu kami ini sudah Mandiri, cuma nama Highscope nya saja dari sana, tapi produk-produk pengembangan usahanya sudah kami kembangkan sendiri dari Indonesia. Kami bukan sekedar seperti franchise yang tinggal ambil lalu jual,” ujar ibu dari tiga anak ini. (asm)

http://ciputraentrepreneurship.com/entrepreneur/nasional/akademik/19044-kiprah-bisnis-pendidikan-cucu-ki-hajar-dewantoro.html

No comments:

Post a Comment