PELUANG BISNIS STOPLES
Tri pernah menjadi kuli dan tukang sapu (1)
Oleh Fahriyadi - Kamis, 09 Agustus 2012 | 13:43 WIB
Pepatah lama yang menyatakan "hidup seperti roda berputar" nampaknya berlaku bagi Tri Sumono. Berawal dari menjadi kuli bangunan hingga tukang sapu, Tri kini sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta rupiah per bulan.
Lewat perusahaan, CV 3 Jaya, Tri Sumono mengelola banyak cabang usaha. Antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri, toko sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis lainnya, penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai perusahaan, serta menjadi franchise produk Ice Cream Campina. "Saya juga aktif jual beli properti," katanya.
Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan. Pria kelahiran Gunungkidul, 7 Mei 1973 ini mengaku, tak pernah berpikir hidupnya bakal enak seperti sekarang.
Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke Jakarta. Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.
Ia nekat mengadu nasib ke Ibukota dengan hanya membawa tas berisi kaos dan ijazah SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak memilih-milih pekerjaan.
Bahkan, pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan. Namun, pekerjaan kasar itu tak lama dijalaninya.
Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri mendapat tawaran menjadi tukang sapu di Kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta Barat.
Tanpa pikir panjang tawaran itu langsung diambilnya. "Pekerjaan sebagai tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan," jelasnya.
Lantaran kinerja memuaskan, karirnya pun naik dari tukang sapu menjadi office boy. Dari situ, karirnya kembali menanjak menjadi tenaga pemasar dan juga penanggung jawab gudang.
Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan berjualan aksesoris di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang anak. "Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung dan gelang dengan modal Rp 100.000," jelasnya.
Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung Karno. Dua tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan banyak.
Dari sanalah, ia kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih menjanjikan ketimbang menjadi karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya, di tahun 1997, ia memutuskan mundur dari pekerjaannya dan fokus berjualan.
Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri berhasil membeli sebuah kios di Mal Graha Cijantung. "Setelah pindah ke Cijantung, bisnis aksesori ini meningkat tajam," ujarnya.
Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan harga mahal. Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu. Dari hasil penjualan kios ditambah tabungan selama ia berdagang, ia kemudian membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara. Di tempat baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.
Naluri bisnis Tri Sumono terasah dari aksesori (2)
Oleh Fahriyadi - Jumat, 10 Agustus 2012 | 12:00 WIB
Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Berkat
pengalaman itu tekadnya terjun ke dunia bisnis kian kuat. Ia pun
merintis usaha toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya
semakin kuat. Tahun 2006, ia merambah bisnis minuman sari kelapa.
Selama
empat tahun Tri Sumono berjualan produk-produk aksesori, seperti jepit
rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal pengalaman dagang itu,
tekadnya untuk terjun ke dunia bisnis semakin kuat.
Makanya, setelah menjual kios aksesorinya di Mal Graha Cijantung dan pindah ke Bekasi, ia pun memutuskan merintis usaha baru.
Saat
itu, ia langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang
bisnis ini lumayan menjanjikan, karena ke depan, daerah tempatnya
bermukim itu bakal berkembang dan ramai. "Tapi tahun 1999, waktu saya
buka toko sembako itu masih sepi," ujarnya.
Namun, Tri tak
kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian ramai, ia kemudian
membangun sebanyak 10 rumah kontrakan dengan harga miring. Rumah
kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang keliling, seperti penjual
bakso, siomai, dan gorengan.
Selain mendapat pemasukan baru dari
usaha kontrakan, para pedagang itu juga menjadi pelanggan tetap toko
sembakonya. "Cara itu ampuh dan banyak warga di luar Pondok Ungu mulai
mengenal toko kami," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, naluri
bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, Tri melihat peluang bisnis sari
kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia memutuskan untuk mendalami
proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi yang didapatnya diketahui
bahwa sari kelapa merupakan hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium.
Untuk
keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. "Tahap awal saya membuat 200
nampan sari kelapa," ujarnya.
Sari kelapa buatannya itu
dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman. Beberapa perusahaan mau
menampung sari kelapanya. Tapi, itu tidak lama.
Lantaran
kualitas sari kelapa produksinya menurun, beberapa perusahaan tidak mau
lagi membeli. Ia pun berhenti produksi dan memutuskan untuk belajar
lagi.
Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru
ke seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu
enggan mengajarinya karena menilai Tri bakal kesulitan memahami bahasa
ilmiah dalam pembuatan sari kelapa. "Tanpa sekolah kamu sulit menjadi
produsen sari kelapa," kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.
Namun,
melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau
memberikan les privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan.
Setelah melalui serangkaian uji coba dengan hasil yang bagus, Tri pun
melanjutkan kembali produksi sari kelapanya.
Saat itu, ia
langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta. Hasilnya
lumayan memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap produk sari
kelapanya. Sejak itu, perjalanan bisnisnya terus berkembang dan maju.
Sukses di kopi, Tri merambah minuman kesehatan (3)
Oleh Fahriyadi - Senin, 13 Agustus 2012 | 11:45 WIB
Kali ini, peluang bisnis itu datang dari salah satu perusahaan yang menjadi konsumen sari kelapanya. Perusahaan itu menawarinya proyek pengemasan. "Saya diminta mengerjakan pembuatan 3 juta saset produk minuman susu," ujar Tri.
Tanpa pikir panjang, ia pun menyanggupinya. Supaya bisa fokus menggarap proyek ini, bisnis pembuatan sari kelapanya terpaksa dihentikan. "Selain tenaga terbatas, produksi sari kelapa masih seminggu sekali sehingga tidak efisien," jelasnya.
Selama dua tahun, Tri menggarap proyek senilai Rp 2 miliar itu. Saat awal mengerjakan proyek, ia langsung mendapat bayaran separuh dari total nilai proyek atau Rp 1 miliar.
Uang itu dipakainya buat mendirikan perusahaan pengemasan. Selain buat mengurus legalitas perusahaan, sebagian juga dipakai buat menyiapkan peralatan.
Setelah kontrak kerja sama berakhir pada 2009, Tri kembali merambah bisnis baru. Kali ini ia menekuni usaha pembuatan kopi jahe merek Hootri.
Dengan memanfaatkan peralatan pengemasan yang sudah dimilikinya, produksi kopi ini bisa bertahan hingga saat ini. "Sejak mendapat proyek pengemasan saya sudah berpikir untuk berbisnis minuman saset seperti ini," ujarnya
Saat ini, produksi kopi saset-nya mencapai 1.000 karton per bulan. Kopi tersebut dibanderol Rp 75.000 per karton yang berisi 120 saset.
Produk kopinya itu dipasarkan ke wilayah Sumatra dan Kalimantan. Ia sengaja menghindari pasar Jabodetabek dan Pulau Jawa karena tingkat persaingannya sudah sangat ketat. "Sementara kompetitornya banyak perusahaan raksasa yang sudah terkenal," ujarnya. Sampai saat ini, Tri masih terlibat langsung dalam semua aktivitas produksi kopi jahe saset ini. Ia tak ingin hanya duduk dan menanti laporan.
Hal serupa juga dilakukan terhadap lini bisnisnya yang lain, seperti usaha toko sembakonya. Konsep manajemen seperti ini bukan berarti ia tak percaya kepada karyawannya.
"Tapi justru saya ingin memberi contoh dan semangat kepada karyawan untuk bekerja maksimal," ujarnya.
Tri berharap, kelak produk kopinya bisa semakin dikenal. Untuk itu, ia tak berhenti melakukan inovasi. "Setelah Lebaran kami akan merilis kopi hitam dan kopi susu," jelasnya.
Selain itu, ia juga berencana memproduksi minuman kesehatan beras merah. Setiap saset minuman ini setara dengan sepiring nasi merah.
No comments:
Post a Comment