PELUANG BISNIS: Furtakos, sukses dari bisnis kerajinan
FURTAKOS sadar betul kalau jiwa seni yang ada pada dirinya menjadi
salah penentu keberhasilannya berbisnis kerajian (handycraft)
Acos, begitu dia akrab disapa hafal betul seluk-beluk ukiran topeng Yogyakarta yang menjadi salah satu barang terlaris di tokonya Andong di Blok M Square, Jakarta Selatan.
Dengan lugas dia menjelaskan perbedaan topeng tokoh pewayangan Jawa tersebut, mulai dari kualitas kayu, ukiran, harga, hingga minat konsumen terhadap benda seni tersebut.
Topeng Yogyakarta itu terdiri dari banyak ragam dan ukuran. Walaupun sekilas tampak mirip, tapi belum tentu antara dan lainnya itu serupa, terutama dalam hal harga.
Kalau para pencicip wine itu kuat dengan mengandalkan rasa, Acos bergerak berdasarkan insting seni yang dibangun dari kerja keras dan kemauan untuk belajar.
Ayah dari Fifin Octaviani tersebut saat ini sudah terhitung sukses di bidangnya, mempunyai tiga toko handycraft dengan omzet sekitar Rp200 juta per bulannya.
Kesuksesan laki-laki asal Lampung tersebut tidak datang dengan sendirinya, apalagi dia hanya bermodal dengkul ketika mulai berbisnis.
Acos mulai usaha pada 1993 dengan membuka empat toko handycraft secara bersamaan di Pasar Raya. Hebatnya, saat itu dia memulai usaha dengan tanpa modal.
Anak bungsu dari tujuh bersaudara tersebut memutuskan berbisnis handycraft dengan alasan sudah mengenal seluk-beluk berjualan cendera mata.
Sebelumnya, Acos bekerja sebagai staf di Pasar Raya selama 4 tahun.
Dari sana lah ilmu mengenai handycraft didapatnya. Mulai dari bagaimana memilah barang yang diminati pasar, membuka kerja sama dengan konsumen potensial, hingga mengelola bisnis agar terus tumbuh. Insting seninya pun mulai terasah.
Saat mulai berbisnis, sarjana ekonomi lulusan salah satu universitas swasta di Lampung itu mulai memberanikan diri mencari pernak-pernik untuk barang dagangan.
Kota yang dituju antara lain Yogyakarta karena banyak benda seni yang dihasilkan di sana.
Lagi-lagi, Acos 'nekat', pergi mencari barang ke Yogyakarta dengan dana pas-pasan alias tidak ada uang untuk belanja barang.
"Saya berangkat dengan keyakinan. Intinya meyakinkan perajin kalau saya mampu membayar barang yang dibeli," katanya kepada Bisnis, Selasa (7/8).
Lobi-lobi Acos akhirnya membuahkan membuahkan hasil. Dari belanja perdananya ke Yogyakarta itu, dia bisa membawa pulang tujuh dus rokok ukuran besar yang isinya cendera mata menggunakan kereta api kelas ekonomi.
Belum habis penderitaan di KA ekonomi, Acos juga harus bersusah payah menyewa angkutan kota untuk mengangkut barang bawaannya itu sesampainya di Jakarta dengan tarif sewa Rp50.000.
Lambat laun, bisnis handycraf di keempat tokonya mulai berjalan. Walaupun awalnya sulit dan 'bersaing' dengan mantan bos nya sendiri, bisnis di empat toko tersebut terus berjalan.
Acos mulai bisa menemukan pola bisnis yang pas, hingga akhirnya bisa berkenalan dengan konsumen asal Jepang yang menawarkan ekspor.
Bukan kepalang senangnya ketika mendapat tawaran ekspor perdana. Memang jumlahnya tidak banyak, paling hanya beberapa dus yang berisi cendera mata dengan nilai Rp65 juta.
Acos makin percaya diri setelah ekspor perdananya sukses. Dia berambisi terus memperluas usaha yang sekaligus menjadi pilihan hidupnya.
Dia sudah mempunyai 10 pemasok tetap yang selalu siap memenuhi permintaannya. Barangnya macam-macam, antara lain topeng, ukiran kayu, patung, dan aksesori.
Namun, cita-cita tidak berbanding lurus dengan kemampuan finansial. Apa daya, Acos harus merelakan sertifikat rumahnya demi mendapatkan pinjaman dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk.
"Kredit yang cair pertama senilai Rp50 juta dan semuanya digunakan untuk modal usaha," katanya.
Dapat injeksi dana segar, Acos makin agresif mengembangkan usaha. Pada tahun lalu, dia memutuskan menutup dua tokonya di Pasar Raya dan membuka satu toko di Blok M Square.
Perkenalan Acos dengan BRI membawa berkah untuk bisnisnya. Setidaknya Acos sudah beberapa kali ikut pameran yang difasilitasi bank pelat merah tersebut.
Terakhir, Acos ikut pameran produk di Belanda selama 10 hari. Di sana, dia bisa mengasah insting bisnisnya lebih dalam termasuk menjajaki peluang ekspor.
Pulang ke Indonesia, ayah dua anak tersebut semakin mematangkan impiannya mempunyai supermarket handycraft.
"Peluang bisnis handycraft sangat terbuka, apalagi permintaannya yang tidak pernah padam. Sebagian besar konsumen kami saat ini ialah warga negara asing," ujarnya.
Acos juga punya impian lain, yaitu ekspansi dengan membuka toko handycraft di Batam. Alasannya, pangsa pasar di sana cukup cerah terlihat dari tingginya mobilitas WNA. (Bsi)
http://www.bisnis.com/articles/peluang-bisnis-furtakos-sukses-dari-bisnis-kerajinan
Acos, begitu dia akrab disapa hafal betul seluk-beluk ukiran topeng Yogyakarta yang menjadi salah satu barang terlaris di tokonya Andong di Blok M Square, Jakarta Selatan.
Dengan lugas dia menjelaskan perbedaan topeng tokoh pewayangan Jawa tersebut, mulai dari kualitas kayu, ukiran, harga, hingga minat konsumen terhadap benda seni tersebut.
Topeng Yogyakarta itu terdiri dari banyak ragam dan ukuran. Walaupun sekilas tampak mirip, tapi belum tentu antara dan lainnya itu serupa, terutama dalam hal harga.
Kalau para pencicip wine itu kuat dengan mengandalkan rasa, Acos bergerak berdasarkan insting seni yang dibangun dari kerja keras dan kemauan untuk belajar.
Ayah dari Fifin Octaviani tersebut saat ini sudah terhitung sukses di bidangnya, mempunyai tiga toko handycraft dengan omzet sekitar Rp200 juta per bulannya.
Kesuksesan laki-laki asal Lampung tersebut tidak datang dengan sendirinya, apalagi dia hanya bermodal dengkul ketika mulai berbisnis.
Acos mulai usaha pada 1993 dengan membuka empat toko handycraft secara bersamaan di Pasar Raya. Hebatnya, saat itu dia memulai usaha dengan tanpa modal.
Anak bungsu dari tujuh bersaudara tersebut memutuskan berbisnis handycraft dengan alasan sudah mengenal seluk-beluk berjualan cendera mata.
Sebelumnya, Acos bekerja sebagai staf di Pasar Raya selama 4 tahun.
Dari sana lah ilmu mengenai handycraft didapatnya. Mulai dari bagaimana memilah barang yang diminati pasar, membuka kerja sama dengan konsumen potensial, hingga mengelola bisnis agar terus tumbuh. Insting seninya pun mulai terasah.
Saat mulai berbisnis, sarjana ekonomi lulusan salah satu universitas swasta di Lampung itu mulai memberanikan diri mencari pernak-pernik untuk barang dagangan.
Kota yang dituju antara lain Yogyakarta karena banyak benda seni yang dihasilkan di sana.
Lagi-lagi, Acos 'nekat', pergi mencari barang ke Yogyakarta dengan dana pas-pasan alias tidak ada uang untuk belanja barang.
"Saya berangkat dengan keyakinan. Intinya meyakinkan perajin kalau saya mampu membayar barang yang dibeli," katanya kepada Bisnis, Selasa (7/8).
Lobi-lobi Acos akhirnya membuahkan membuahkan hasil. Dari belanja perdananya ke Yogyakarta itu, dia bisa membawa pulang tujuh dus rokok ukuran besar yang isinya cendera mata menggunakan kereta api kelas ekonomi.
Belum habis penderitaan di KA ekonomi, Acos juga harus bersusah payah menyewa angkutan kota untuk mengangkut barang bawaannya itu sesampainya di Jakarta dengan tarif sewa Rp50.000.
Lambat laun, bisnis handycraf di keempat tokonya mulai berjalan. Walaupun awalnya sulit dan 'bersaing' dengan mantan bos nya sendiri, bisnis di empat toko tersebut terus berjalan.
Acos mulai bisa menemukan pola bisnis yang pas, hingga akhirnya bisa berkenalan dengan konsumen asal Jepang yang menawarkan ekspor.
Bukan kepalang senangnya ketika mendapat tawaran ekspor perdana. Memang jumlahnya tidak banyak, paling hanya beberapa dus yang berisi cendera mata dengan nilai Rp65 juta.
Acos makin percaya diri setelah ekspor perdananya sukses. Dia berambisi terus memperluas usaha yang sekaligus menjadi pilihan hidupnya.
Dia sudah mempunyai 10 pemasok tetap yang selalu siap memenuhi permintaannya. Barangnya macam-macam, antara lain topeng, ukiran kayu, patung, dan aksesori.
Namun, cita-cita tidak berbanding lurus dengan kemampuan finansial. Apa daya, Acos harus merelakan sertifikat rumahnya demi mendapatkan pinjaman dari PT Bank Rakyat Indonesia Tbk.
"Kredit yang cair pertama senilai Rp50 juta dan semuanya digunakan untuk modal usaha," katanya.
Dapat injeksi dana segar, Acos makin agresif mengembangkan usaha. Pada tahun lalu, dia memutuskan menutup dua tokonya di Pasar Raya dan membuka satu toko di Blok M Square.
Perkenalan Acos dengan BRI membawa berkah untuk bisnisnya. Setidaknya Acos sudah beberapa kali ikut pameran yang difasilitasi bank pelat merah tersebut.
Terakhir, Acos ikut pameran produk di Belanda selama 10 hari. Di sana, dia bisa mengasah insting bisnisnya lebih dalam termasuk menjajaki peluang ekspor.
Pulang ke Indonesia, ayah dua anak tersebut semakin mematangkan impiannya mempunyai supermarket handycraft.
"Peluang bisnis handycraft sangat terbuka, apalagi permintaannya yang tidak pernah padam. Sebagian besar konsumen kami saat ini ialah warga negara asing," ujarnya.
Acos juga punya impian lain, yaitu ekspansi dengan membuka toko handycraft di Batam. Alasannya, pangsa pasar di sana cukup cerah terlihat dari tingginya mobilitas WNA. (Bsi)
http://www.bisnis.com/articles/peluang-bisnis-furtakos-sukses-dari-bisnis-kerajinan
No comments:
Post a Comment