SENTRA OBAT CHINA GLODOK, JAKARTA
Sentra obat Glodok: Sentra obat China terbesar (1)
Oleh Revi Yohana - Selasa, 31 Juli 2012 | 15:24 WIB
China merupakan salah satu negara penghasil beragam obat-obatan tradisional yang paling terkenal di dunia. Metode pengobatan ala Negeri Tembok Raksasa juga sudah sangat kesohor di muka bumi ini. Orang Indonesia banyak yang mencari obat-obatan dan ramuan dari China.
Di Jakarta, sentra pengobatan China bisa Anda temukan di sepanjang Jalan Pancoran Raya, Glodok, Jakarta Barat. Selain memenuhi kanan kiri jalan, kios-kios yang menawarkan aneka obat dan pengobatan China juga banyak memenuhi Chandra Building Shopping Centre di jalan itu.
Ada juga pedagang yang membuka toko di Pasar Glodok yang masih terletak Jalan Pancoran Raya. Toko yang berdiri di pinggir Jalan Pancoran Raya sekitar 20 kios. Sedang yang ada di Pasar Glodok 10 toko. Itu belum termasuk toko yang menghuni Chandra Building Shopping Centre.
Tak heran, sentra pengobatan China di kawasan ini merupakan yang terkomplet dan terbesar di Indonesia. "Karena terbesar, banyak orang akhirnya memilih berbelanja di sini," kata Iskandar, pemilik Toko Obat Gunung Selatan.
Pusat penjualan obat China ini mulai buka sejak pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Dari pagi hingga petang, kawasan tersebut selalu ramai dikunjungi pembeli.
Sayang, bagi yang membawa kendaraan bermotor, belanja di sentra ini kurang nyaman. Soalnya, di lokasi itu tidak ada tempat parkir. Alhasil, banyak mobil dan sepeda motor yang parkir di jalan sehingga memakan badan jalan dan menyebabkan kemacetan.
Yang menarik, sebagian besar kondisi bangunan toko nampak tua dengan desain arsitektur China yang khas. Namun, ada pula yang sudah melakukan pemugaran sehingga tampak lebih modern. "Toko di sini biasanya dikelola turun-temurun," ujar Iskandar.
Iskandar sendiri mendapat warisan toko dari ayahnya yang bernama Tionghoa Nam San. Saat itu, kiosnya masih berupa toko kelontong. Di tahun 1990-an, ia kemudian menyulapnya menjadi toko obat, meski tak menguasai masalah obat. Makanya, dia mempekerjakan seorang sinse serta peracik obat berpengalaman.
Dari usahanya ini, Iskandar dapat mengantongi omzet Rp 20 juta-Rp 30 juta per bulan. Itu belum termasuk pendapatan dari jasa berobat yang bertarif Rp 60.000 - Rp 180.000 per pasien. Sementara, harga obat-obatan mulai Rp 40.000 - Rp 400.000 sebungkus.
Susilo, pengelola Toko Obat Sinei, bilang, jumlah konsumennya dalam sehari paling sedikit 10 orang. Konsumennya tidak terbatas warga keturunan Tionghoa. "Sekarang mulai banyak orang lokal," katanya.
Pembeli di Toko Obat Yong di Pasar Glodok juga tak kalah ramai. "Dalam sebulan pasien kami bisa mencapai ratusan orang," ungkap Lim Tet Min, pemilik Yong. Omzetnya bisa mencapai Rp 100 juta per bulan.
Sentra obat Glodok: Sedia obat segala penyakit (2)
Oleh Revi Yohana - Rabu, 01 Agustus 2012 | 13:43 WIB
Lim Tet Min, sinse di Toko Obat Yong bilang, tokonya menjual obat-obatan yang dapat menyembuhkan hingga 72 jenis penyakit. Mulai dari penyakit ringan seperti sakit kepala dan encok, hingga penyakit berat seperti stroke, jantung, dan ginjal.
Hampir semua obat yang dijual di tokonya merupakan obat racikan. Sinse Lim sendiri yang memeriksa kondisi pasien sekaligus meramu obat-obat tersebut. Dalam meramu obat, ia dibantu sekitar lima orang karyawan.
Susilo, pengelola toko obat Sinei mengklaim, racikan obat China mampu menyembuhkan hampir seluruh jenis penyakit. Ia sendiri mampu meracik obat dari resep yang dibuat sinse.
Resep untuk obat tradisional ini biasanya ditulis dalam aksara mandarin, sehingga tidak sembarang orang bisa mengetahuinya. "Kami belajar dari keturunan," ujar Susilo.
Toko Sinei sendiri merupakan usaha keluarga yang telah berusia 80 tahun. Hampir seluruh peracik obat di kawasan itu memperoleh keahlian meracik obat secara turun-temurun dari keluarga maupun orang ahli dari China langsung.
Peracik obat di Toko Gunung Selatan, Ko Abun mendapatkan keterampilan meracik obat dari gurunya di China. Menurutnya, ada ratusan bahan tanaman yang bisa dijadikan bahan obat tradisional China.
Beberapa di antaranya adalah kumis kucing, benalu teh, keji beling, dan buah ara. Tanaman itu bisa diambil bagian daun, buah, kulit, atau akarnya. "Ada caranya sendiri tanaman itu harus diapakan, diserut, dipotong bulat-bulat, atau kecil-kecil," ujar Ko Abun yang sudah meracik obat selama 30 tahun.
Ia mengaku, tidak kesulitan menemukan bahan obat-obatan tersebut. Soalnya, bahan tanaman obat itu kini sudah banyak dijual di pasar. "Kalau tidak ada di Indonesia, kami impor langsung dari China," kata Ko Abun.
Kondisi itu, menurutnya, sangat berbeda dengan puluhan tahun lalu, di mana ia masih harus menyiapkan sendiri seluruh bahan dari awal. Menurut Ko Abun, proses pembuatan obat China ini harus melalui beberapa tahapan.
Setelah bahan terkumpul, selanjutnya dikombinasikan sesuai resep. Penakaran obat dilakukan dengan memakai timbangan kecil. Selanjutnya obat akan dikemas dalam sebuah kertas cokelat. "Dalam satu ramuan obat bisa terdiri dari 16, 18, bahkan sampai 40 campuran tanaman, tergantung dari penyakitnya," ujar Ko Abun.
Nantinya, ramuan tanaman itu akan direbus oleh pasien. Air rebusan itulah yang diminum dan dipercaya berkhasiat menyembuhkan penyakit.
Sentra obat Glodok: Obat ilegal pun beredar (3)
Oleh Revi Yohana - Kamis, 02 Agustus 2012 | 13:44 WIB
Obat herbal buatan pabrik ini sudah dikemas modern yang dilengkapi dengan nama obat berikut penjelasannya. Namun, sebagian masih menggunakan bahasa mandarin. Maklum, hampir semua obat tersebut diimpor langsung dari China.
Biasanya, obat yang masih menggunakan penjelasan dalam bahasa mandarin itu belum memiliki nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). "Obat itu banyak dibawa masuk oleh importir tidak resmi atau ilegal," kata Iskandar, pemilik toko obat Gunung Selatan.
Ia tak menampik, di tempat dia berjualan masih marak beredar obat yang tidak memiliki nomor registrasi BPOM. Namun, ia sendiri mengaku tak berani menjual obat-obatan tersebut.
Menurutnya, menjual obat yang tidak terdaftar di BPOM terlalu berisiko. "Kami kan tidak tahu isinya apa, bisa saja ditulis berisi bahan organik tetapi isinya lain," ujar Iskandar.
Lagi pula, kata dia, banyak konsumen ragu membeli obat yang tidak memiliki nomor registrasi dari BPOM. Makanya, Iskandar lebih memilih menjual obat yang sudah memiliki nomor registrasi dari BPOM. Biasanya, obat yang sudah terdaftar disertai penjelasan dalam bahasa Indonesia.
Obat-obatan ini dibawa masuk oleh importir yang telah terdaftar di BPOM. Dari hasil penelusuran KONTAN, obat ilegal masih marak beredar karena pasarnya memang ada. Contohnya, saat KONTAN menyambangi sentra ini pekan lalu.
Kepada KONTAN, seorang konsumen yang tak mau disebut namanya justru mengaku lebih sreg mengonsumsi obat China yang belum teregistrasi di BPOM. Alasannya, obat yang diimpor langsung dari China itu lebih mujarab ketimbang yang diimpor oleh importir terdaftar. Saat itu, ia tengah mencari obat pemulihan pasca operasi dari China. Obat bernama Pien Tza Huang ini diyakini manjur mengeringkan luka operasi. "Asal sudah tahu barangnya dan tokonya tepercaya, saya berani beli," ujarnya.
Ia bahkan bersedia membayar dengan harga lebih tinggi. Soal harga, sebetulnya tidak jauh berbeda satu toko dengan yang lain. Sebab, persaingan antartoko obat di sini sudah lumayan ketat. Selisih harga Rp 5.000 saja pelanggan sudah bisa beralih.
"Persaingan sekarang lebih ketat karena sudah banyak toko obat di sini," timpal Susilo, pengelola toko Sinei. Untuk menggenjot omzet, ia juga melayani penjualan ke daerah. "Saya biasa mengirim ke luar Jawa," kata Susilo.
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-obat-glodok-sentra-obat-china-terbesar-1/2012/07/31
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-obat-glodok-sedia-obat-segala-penyakit-2/2012/08/01
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-obat-glodok-obat-ilegal-pun-beredar-3
maaf apakah ada nomor telopon yang dapat kami hubungi...
ReplyDeletedan untuk penyakit diabetes militus yang sudah sangat parah apa obatnya ada??