Thursday, August 2, 2012

Menilik Kultur Bisnis Salim Group

KIAT MANAJEMEN: Menilik Kultur Bisnis Salim Group

Compact_salim
Tiga tindakan profesionalisme Salim Group yaitu sederhana dalam penampilan, mewah dalam tindakan (kerja keras) dan solidaritas antar karyawan.

Mangkatnya sudah terjadi beberapa waktu lalu. Tepat pada Minggu 6 Juni 2012 waktu Singapora, dia menghembuskan napas terakhir pada usia yang layak disebut sepuh; 95 tahun. Namun tetap saja membaca lanskap bisnis Indonesia kontemporer, tidak dapat dipungkiri dirinya selaku pendiri Salim Group - Liem Sioe Liong (Sudono Salim) - menjadi sosok paling penting untuk dibahas.

Dengan segala kontroversi yang menyertai, Om Liem (panggilan akrab Liem Sioe Liong) menjadi pelaku bisnis paling digdaya yang besaran bisnisnya mungkin tidak pernah dibayangkan sendiri olehnya ketika tahun 1930’an, dia bermigrasi dari kampung halamannya Fuqing, Fujian China menuju “tanah harapan” di Kudus Jawa Tengah.

Tanpa bekal pendidikan memadai dus nir harta yang menyertai, dia memulai perjalanan ribuan kilometer dari Fujian ke Kudus. Ujungnya ada ratusan ribu pekerja yang dihidupi oleh ratusan perusahaan yang dimiliki Om Liem.

Alhasil tidak ada sebuah kitab bisnis manapun yang mampu menerangkan secara tuntas strategi bisnis yang dijalankan olehnya. Para profesor dan kaum cerdik pandai akan kewalahan membingkai dengan teori manajemen kontemporer kiatnya mengelola bisnis sehingga namanya pernah ditabalkan sebagai seratus orang paling tajir di muka bumi. Om Liem sudah menjadi legenda.

Beruntung awal karir profesional saya mula pertama berkarya di salah satu usaha Salim Group. Selama lima tahun penuh saya menjadi bagian kecil dari gerbong bisnis yang digerakkan oleh Salim Group. Bidang usaha Salim Group yang saya terjuni adalah eceran. Saya berhubungan langsung dengan dua pihak; distributor dan konsumen akhir.

Era ketika saya berkarya di Salim Group pada saat kekuasaan Orde Baru. Beredar opini bahwa Salim Group menikmati kue bisnis dengan porsi besar karena mendapat hak monopoli dari penguasa. Jaringan bisnis nan panjang lagi besar dari Salim Group dihasilkan karena dekat dengan kekuasaan. Bukan karena profesionalisme para pemimpinnya.

Benarkah demikian? Salah jawabannya. Saya mengalami sendiri bagaimana orang-orang Salim Group mengelola perusahaan dengan dasar profesionalisme yang tinggi. Profesionalisme ini ditunjukkan dengan tiga tindakan: sederhana dalam penampilan, mewah dalam tindakan (kerja keras) dan solidaritas antar karyawan yang tinggi.

Sederhana dalam penampilan ditunjukkan oleh para petinggi Salim Group yang nyaris tidak pernah memakai fasilitas mewah dari perusahaan. Pun ketika para petinggi ini berkunjung ke daerah – saya berkarya di perusahaan Salim di daerah – nyaris tidak mau diperlakukan istimewa layaknya petinggi perusahaan yang menikmati monopoli.

Penampilan sederhana mereka diperkuat dengan perilaku yang santun ketika menghadapi karyawannya, tidak peduli karyawan itu berada pada strata bawah.

Indomarco sebagai distributor yang mendistribusikan produk-produk Salim Group merupakan distributor pertama yang memperkenalkan pendekatan ‘kode pos’ dalam strateginya. Intinya setiap jengkal wilayah di Indonesia yang sudah ada kode posnya wajib didatangi oleh Indomarco. Alhasil dari pelosok Sumatra hingga ujung nun jauh di pucuk gunung Papua, wajib hukumnya bagi manajemen Indomarco untuk mendistribusikan produk-produk Salim Group.

Strategi ini dimulai pada awal 90’an dimana infrastruktur bernama jalan masih terbatas dan saluran komunikasi (telepon) merupakan barang mewah. Hal demikian menunjukkan bahwa kerja keras merupakan kredo bagi seluruh karyawan Indomarco (baca: Salim Group) yang tidak boleh diganggu gugat. Kerja keras merupakan pondasi untuk mencapai keberhasilan.

Kawasan Kekuasaan

Kawasan sepanjang jalan raya Citeureup, Bogor merupakan daerah “kekuasaan” Salim Group. Di sini berdiri pabrik Indocement, Bogasari dan berbagai perusahaan tekstil yang dimiliki Salim Group. Ada ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari pabrik-pabrik ini. Puluhan ribu manusia lainnya terhubung dengan pabrik atau karyawan Salim Group untuk bersama-sama menikmati kue ekonomi.

Di wilayah Citeureup ini berdiri komplek sekolahan dari TK sampai SMP yang dikelola oleh Salim Group. Ada juga sarana olah raga lengkap dengan areal luas yang menjadi fasilitas karyawan Indocement. Berbagai fasilitas ini menunjukkan bahwa di Salim Group karyawan tidak melulu dituntut untuk berkarya.

Fasilitas penunjang lainnya juga diberikan dengan tujuan utamanya untuk mengakrabkan sesama karyawan. Solidaritas juga dibangun melalui fasilitas non pekerjaan. Tentu unsur utamanya tetap pada top manajemen yang berperilaku santun dan memanusiakan karyawan. Akibatnya tidak pernah terdengar ada demo besar-besaran karyawan Salim Group terhadap perusahaannya.

Tiga hal ini - sederhana, kerja keras dan solidaritas- telah menjadi nilai perusahaan Salim Group. Dalam bahasa kontemporer disebut budaya perusahaan. Budaya perusahaan merupakan landasan dari perilaku (karakter) karyawan. Entah sudah dirumuskan secara ilmiah atau belum pernah dibingkai dalam kata-kata dan termuat dalam visi-misi perusahaan, budaya perusahaan selalu dibangun oleh pendirinya. Budaya perusahaan tercermin dari perilaku sehari-hari pendirinya. Pada kasus Salim Group, budaya perusahaan ini dibangun oleh Om Liem.

Dengan perilaku sederhana, kerja keras dan solidaritas dia membangun perusahaan. Membentang ketika Indonesia baru saja merdeka hingga hari ini. Salim Group dengan berbagai badai yang mengguncang tetap selalu berbasis pada budaya perusahaan yang dijiplak dari perilaku pendirinya.

Suatu hari saya pernah duduk di ruang tamu kantor pusat Salim Group di Wisma Indocement Jakarta. Kursi sofa yang sudah tua, plakat-plakat penghargaan perusahaan sebagai hiasan. Sejenak berikut muncul salah satu top manajemen perusahaan yang tidak lain adalah sang menantu Om Liem: Frankie Welirang. Berjaket Bogasari asli buatan dalam negeri, pakaian putih tanpa dasi dengan bolpoint pilot di saku bajunya. Frankie Welirang mohon maaf karena harus menyelesaikan makan siangnya berupa mie rebus buatan pabriknya.

Frankie Welirang sejenak meninggalkan saya yang terbenam dalam sofa tua ruang tamu. Tepat di lantai atas dimana saya duduk, berkantor sang putra mahkota: Anthony Salim. Dengan penampilan yang nyaris sama: celana coklat, batik coklat. Dengan makanan kebanggaan yang selalu tersedia di meja kerjanya: singkong rebus. Requiescat in pace, beristirahat dalam damai, Om Liem.(msb)

(Trainer bisnis. Mitra pengelola LA Learning/lilik@highleap.net.)


http://www.bisnis.com/articles/kiat-manajemen-menilik-kultur-bisnis-salim-group

No comments:

Post a Comment