SENTRA TEMPE DAN TAHU KLENDER, JAKARTA TIMUR
Sentra tempe Klender: Kedelai bikin pusing (1)
Oleh Fahriyadi - Jumat, 27 Juli 2012 | 16:17 WIB
Para produsen tahu dan tempe saat ini sedang kelimpungan menghadapi lonjakan harga kedelai. Kondisi itu turut dirasakan sekitar 30 pembuat tahu dan tempe di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Gang Tahu, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur.
Lantaran tak kuat menanggung lonjakan harga kedelai, sudah dua hari ini mereka memutuskan mogok produksi. Selama mogok produksi, tidak ada kegiatan apa pun di kawasan tersebut.
"Mogok produksi ini merupakan bentuk solidaritas kami bersama dengan para perajin tempe dan tahu untuk menghentikan sementara kegiatan produksi," kata Hadi Guntoro, salah seorang produsen tempe merek Cap Jempol di Klender.
Mogok produksi ini memang dilakukan serentak dan digerakkan oleh Pusat Koperasi Perajin Tempe Tahu Indonesia (Puskopti). Hal itu dilakukan menyusul lonjakan harga kedelai yang menembus Rp 8.000 per kilogram (kg).
Hadi mengaku tidak tahu sampai kapan akan berhenti berproduksi. Ia hanya bisa pasrah karena kegiatan ekonominya terhenti total. "Seharusnya saat ini sudah mulai kembali merebus kacang untuk persiapan berjualan di hari Sabtu," kata Hadi yang menggeluti usaha ini sejak enam tahun lalu.
Hadi mengaku, tidak ada intimidasi atau paksaan dari pihak tertentu, sehingga ia mogok produksi. Menurutnya, keputusan itu terpaksa diambil karena kenaikan harga kedelai sudah tak terkendali. Sementara harga tempe tak mungkin naik.
Padahal, dalam sehari Hadi bisa memproduksi sebanyak 80 kg tempe dengan omzet mencapai Rp 800.000 per hari. Ia sudah memiliki langganan yang cukup luas hingga ke daerah Cawang.
Ia bisa menggaet pelanggan dari luar Klender karena selama ini rajin menawarkan tempenya dengan berkeliling dari satu kawasan ke kawasan lainnya di Jakarta. Selain para pedagang di pasar tradisional, banyak juga pemilik warung tegal (warteg) yang menjadi pelanggannya.
Selama tidak berproduksi, tentu ia tidak bisa memasok kebutuhan para pelanggannya tersebut. "Berhenti berproduksi ini memang tidak menguntungkan kedua pihak, baik produsen maupun konsumen," ujarnya.
Produsen lainnya yang juga mogok produksi adalah Waryati. Di Gang Tahu, Klender, Waryati termasuk pemain lama. Perempuan 47 tahun ini sudah 30 tahun lebih menjadi pembuat tempe di kawasan ini.
Setiap hari, ia memproduksi 40 kg tempe. Selain tempe biasa yang dibungkus plastik atau daun, ia juga memproduksi tempe segitiga khusus untuk tempe bacem.
Produk tempe itu, ia jual ke Pasar Bulak dan Pasar Perumnas Klender, Jakarta Timur. Ia mengaku, dalam sehari bisa mengumpulkan omzet sebesar Rp 500.000. Sejak harga kedelai naik, laba bersih yang dikantonginya kini hanya sekitar 10%. "Laba merosot jauh saat harga kacang kedelai mencapai Rp 800.000 per kuintal," katanya.
Lantaran margin yang didapat semakin tipis, tak heran bila sekarang banyak produsen tempe memutuskan mogok produksi. Terlebih, solidaritas sesama produsen tempe di kawasan ini sudah cukup kuat.
Makanya, ketika ada yang berhenti berproduksi, tentu yang lain akan mengikutinya. Waryati sendiri mengaku sudah mendengar rencana mogok produksi itu sejak sebulan lalu.
Sentra tempe di Klender ini sudah berdiri sejak tahun 1970-an. Sentra tempe ini merupakan salah satu dari sentra produksi tempe di Jakarta yang masih menggunakan teknologi tradisional.
Belum lama ini, KONTAN sempat mengunjungi sentra tersebut. Di sentra ini terdapat satu mesin penggilingan kacang yang digunakan secara bersama-sama oleh produsen tempe. "Jadi satu mesin ini digunakan banyak perajin tempe," kata Waryati.
Sentra tempe Klender: Memperkecil ukuran (2)
Oleh Fahriyadi - Minggu, 29 Juli 2012 | 14:19 WIB
Para produsen tempe di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur mengaku, kerap kesulitan menghadapi kenaikan harga kedelai.
Ada dua cara menyiasati lonjakan harga itu. Yakni, memangkas margin atau memperkecil ukuran tempe. Dengan cara itu mereka bisa menghindari kenaikan harga jual tempe ke konsumen. "Kalau harga naik pelanggan kecewa," kata Hadi Guntoro, salah satu perajin tempe di Klender.
Makanya, kata Hadi, kenaikan harga kedelai selalu mendatangkan momok menakutkan bagi para perajin tempe. Kendati demikian, ia tetap harus berproduksi dan berjualan guna menghindari kehilangan pelanggan. "Walaupun biaya produksinya tinggi dan untungnya sedikit, yang penting pelanggan tak kecewa," ucapnya.
Menurut Hadi, harga kedelai dalam taraf normal hanya berkisar Rp 6.000-Rp 6.500 per kilogram (kg). Dengan harga di kisaran itu, ia mengaku, potensi keuntungan yang didapatnya sudah sangat minim.
Soalnya, dia masih harus merogoh biaya lagi buat pembelian bahan-bahan, seperti ragi, plastik, daun, dan ongkos produksi. "Ketika harga kedelai naik, otomatis keuntungan kami semakin kecil," ujarnya.
Sementara produsen tak bisa menaikkan harga secara sepihak. Bila itu dilakukan, besar kemungkinan pelanggan akan lari ke pembuat tempe lainnya. "Menaikkan harga bukanlah pilihan terbaik bagi kami," ujarnya.
Ia sendiri pernah memiliki pengalaman menaikkan harga tempe. Saat itu, juga tengah terjadi lonjakan harga kedelai yang lumayan tinggi.
Akibat keputusannya itu, banyak pelanggannya protes dan tidak jadi membeli tempenya. Karena harus terjual hari itu juga, akhirnya ia malah menjual murah tempe tersebut pada sore hari. "Kerugiannya justru lebih besar," tandasnya.
Belajar dari pengalaman itu, kini ia lebih memilih mengecilkan ukuran tempe. Setelah dijelaskan, biasanya pelanggan akan mengerti bahwa harga kedelai memang sedang tinggi.
Produsen lain, Arul mengatakan, selama ini lonjakan harga kedelai memang tak pernah bisa diprediksi. Kendati harga kedelai selalu mengancam, ia tetap memilih usaha ini sebagai sandaran hidup.
Pasalnya, pasar usaha ini sudah jelas dan tak sulit menjualnya. "Stok tempe hari ini tak bisa dijual untuk esok, maka produksinya selalu sesuai dengan kebutuhan," ujarnya.
Produsen lain, Waryati menyatakan, tempe tetap akan menjadi produk pangan yang dekat dengan masyarakat. Sehingga, tak ada alasan untuk berhenti produksi. "Pasang surut itu biasa, yang terpenting bagaimana kami bisa bertahan dengan pelanggan yang kami miliki saat ini," ujarnya.
Sentra tempe Klender: Ramadan, rezeki berkurang (3
Oleh Fahriyadi - Senin, 30 Juli 2012 | 13:03 WIB
"Bulan puasa memang bukan bulan yang bagus buat para perajin tempe seperti kami ini," ujar Waryati, salah seorang perajin tempe di Klender.
Menurut Waryati, turunnya permintaan tempe di bulan Ramadan sudah menjadi siklus yang selalu terulang setiap tahun. Makanya, setiap bulan puasa, para pembuat tempe di sentra Klender ini umumnya selalu memangkas produksi.
Waryati misalnya, di bulan-bulan biasa sanggup membuat 40 kilogram (kg) tempe. Tapi masuk bulan puasa produksi tempenya dikurangi menjadi sekitar 20 kg-25 kg. Produksi tempe di bulan puasa lebih sedikit karena hanya diperuntukkan bagi para langganan. "Di bulan puasa kami tak memasang meja berjualan di pasar," jelasnya.
Menurut Waryati, penjualan tempe semakin anjlok menjelang akhir Ramadan. Soalnya, sebagian besar pelanggan banyak yang sudah mudik ke kampung halaman. Saat itu, hanya ada beberapa perajin yang masih berjualan dan itu pun dalam kapasitas yang minim.
Hadi Guntoro, perajin lainnya di sentra tempe ini mengungkapkan hal yang tak jauh berbeda. Menurut lelaki 28 tahun ini, produksi selama Ramadan harus dihitung cermat supaya tidak rugi.
Caranya, dengan menakar volume produksi sesuai dengan jumlah permintaan pelanggan. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi kelebihan produksi yang tidak terserap pasar. "Saat bulan puasa tidak ada pemborong tempe, yaitu orang yang selalu membeli sisa tempe yang tidak terjual dengan harga murah," jelasnya.
Selama bulan puasa ini, Hadi memangkas produksi tempe hingga sekitar 40% dari hari biasa. Pemangkasan dilakukan karena banyak pelanggannya menurunkan jumlah permintaan selama Ramadan. "Kami bunuh diri jika produksi diperbesar sementara nyata-nyata permintaan tempe tak sebanyak biasanya," ujarnya.
Pelanggan Hadi sendiri kebanyakan tukang gorengan dan pengusaha warteg. Salah seorang pelanggannya adalah Sumiyati, pemilik salah satu warung makan di wilayah Klender. Ia mengakui, konsumsi tempe di bulan puasa lebih rendah dari hari biasa.
Soalnya, kata Sumiyati, jam buka warungnya juga lebih sebentar. "Kalau puasa kami buka menjelang buka puasa dan sahur, makanya penggunaan tempe tidak sebanyak biasanya," ujarnya.
Perempuan 41 tahun ini mengaku sudah hampir lima tahun rutin belanja tempe di Kampung Sumur, Klender. Selain dekat dengan tempat tinggalnya, kualitas tempe yang dihasilkan kampung ini juga lumayan bagus.
Selama ini, para perajin memang sangat memperhatikan kualitas tempe yang mereka produksi. Contohnya Hadi yang mengklaim tempe buatannya bisa bertahan hingga empat hari dengan rasa yang tidak berubah.
"Pada hari kelima sudah busuk, makanya kami selalu menganjurkan kepada pelanggan agar tidak menyimpan tempe hingga empat hari, bahkan kita usahakan sehari habis," katanya.
(Selesai)
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-tempe-klender-memperkecil-ukuran-2/2012/07/29
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-tempe-klender-kedelai-bikin-pusing-1/2012/07/27
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-tempe-klender-ramadan-rezeki-berkurang-3
No comments:
Post a Comment