Views :381 Times |
Kamis, 05 Juli 2012 13:54 |
Sejak awal, sosok yang satu ini sudah jadi pimpinan. Tapi, itu tidak membuatnya berpangku tangan. Moh Fitriady Maturu masih di bangku kuliah saat estafet usaha keluarga menghampirinya. Bisnis peternakan petelur yang dibangun almarhum ayahnya sejak 1989, mesti dia lanjutkan pada 2006. Peternakan ada di Takalar, sedangkan dia juga harus fokus pada pendidikannya di Yogyakarta. Tapi itu bukan kendala. Namun, kendala kemudian datang juga. Meski sebagian orang menganggap mengelola bisnis warisan itu mudah, tetapi tidak bagi Ady, sapaan akrab pria ini. "Ibarat masuk ke sebuah rumah yang perabotnya sudah lengkap, kita tak selalu nyaman duduk di semua bagian. Begitulah," ujar dia, baru-baru ini. Adi menilai, melanjutkan usaha keluarga butuh kerja keras. Sebab, dia mesti menyelami semua pekerjaan, juga mengerti semua karyawan. Makanya, dia tidak menempatkan dirinya sebagai bos. Walau memimpin bisnis ini, dia juga ikut memberi pakan ayam atau menghitung telur. Dia mengistilahkannya; susah senang sama-sama. Dalam waktu enam tahun, Ady berhasil melakukan ekspansi-ekspansi bisnis. Lahan, karyawan, produksi, dan tentu saja penghasilan bertambah. Saat ini, omzet peternakannya mencapai Rp350 juta per tahun. Populasi ayamnya kini 25 ribu ekor, bertambah 10 ribu ekor sejak usaha ini dilepas sang ayah. Cukup sukses, tapi jiwa enterpreneur Ady terus bergelora. Dia melirik bisnis lain. Petuah almarhum sang ayah menjadi pegangannya. "Beliau pernah bilang, jangan menempatkan telur dalam satu keranjang saja. Kalau jatuh, kemungkinan pecah semua. Begitu juga dalam berbisnis, jangan cuma satu," ucapnya. Pria kelahiran Sungguminasa, 9 Juni 1986 itu pun terjun di bisnis furnitur. Usaha ini sebenarnya sudah dirintis sejak 2007. Lagi-lagi saat dia masih kuliah. Memilih bisnis ini, Ady terbilang modal nekad. Sebab, dia awam sama sekali soal mebel. Makanya, dia belajar langsung ke Jepara, salah satu kiblat industri mebel di Indonesia. Dari Yogyakarta, Ady selalu ke Jepara setiap Sabtu dan Minggu. Pada sebuah siang, dia mendapat diperhadapkan pada sebuah momen. Saat itu dia naik becak dan bayar Rp10 ribu. Padahal, ternyata, tempat yang akan ditujunya hanya terpisah blok. Sangat dekat. Tapi dia ikhlas. Tak sia-sia, kesabarannya membuahkan hasil. Di blok itulah dia bertemu seseorang bernama Dwi Tungga. Pria yang kemudian menjadi orang kepercayaannya untuk menjalankan bisnis furnitur, bahkan sampai sekarang. "Waktu itu saya memang ke Jepara tanpa satu pun relasi, begitu juga di Makassar yang menjadi target pasar saya," kenangnya. Ady mengambil langkah berani. Dia mendatangkan 20 ft kontainer mebel ke Makassar. Padahal, saat itu dia hanya mendapat pesanan dari orang-orang dekat. Tapi, dia ambil risiko. Begitu barang tiba, dia mulai memasarkannya. Awalnya hanya dipromosikan di keluarga besarnya. Dari situ, bisnisnya menjalar. Kini, Ady sudah mempekerjakan 15 karyawan di Sujati Furniture, nama usaha mebelnya. Mulanya Makassar hanya menjadi area distribusi. Barang tetap dari Jepara. Tapi kini, pihaknya juga sudah memproduksi beberapa jenis mebel. Rata-rata omzet per bulannya antara Rp100 juta-Rp200 juta. Lagi-lagi cukup sukses, namun Ady lagi-lagi masih berpikir untuk melebarkan sayap bisnis. Suami dr Khaeriah ini sedang melirik bisnis properti. "Semua juga karena petuah orang tua. Ayah dan ibu saya PNS. Mereka pernah bilang, kalau mengandalkan penghasilan pemerintah itu hanya cukup untuk hidup secukupnya," ucapnya. Nah, karena Ady ingin lebih dari itu, dia memilih terus menjadi pengusaha. Dengan menjadi pebisnis, dia bisa mendapat penghasilan lebih. Dengan itu juga, ketua komunitas bisnis Tangan di Atas (TDA) Makassar itu bisa membantu sesama. Ady menilai, anak muda menjadi pengusaha sedang tren. Itu bagus. Namun, dia menggarisbawahi, jangan menjadi pengusaha hanya karena tren dan coba-coba. Bisa-bisa hasilnya juga akan coba-coba. Keinginan bisnis harus dari hati. "Prinsip saya, memulai usaha itu mudah. Mempertahankannya jauh lebih sulit," tandasnya. Ady menilai, pebisnis itu harus punya mental tangguh. Kalau sedang tak beruntung alias merugi, jangan serta merta meninggalkan bisnis itu. Kata dia, pengusaha yang ulet harus menjadikan masalah, termasuk kerugian, sebagai tantangan. (*/Fajar Online) |
Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/manufaktur/18304-mengelola-bisnis-harus-dengan-hati.html
No comments:
Post a Comment