Hits : 842 |
Rabu, 18 Juli 2012 10:14 |
Konon
kabarnya, dari awal asal-usulnya manusia memang "disetel" untuk tidak
pernah puas. Naluri dasar manusia memang akan selalu mencari sesuatu
yang lebih dari yang sekarang pernah dicapai atau dimiliki. Tetapi
ketidakpuasan tersebut sebenarnya merupakan motivator bagi kita untuk
terus berkarya dan menghasilkan pencapaian-pencapaian yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Jamaknya, jika orang sudah punya mobil Toyota Avanza umpamanya, maka sedikit banyak pasti kepingin punya Innova atau Altis. Sudah punya rumah seharga Rp500 juta, pasti ada rasa ingin memiliki rumah yang berharga Rp1 miliar. Itu semua normal kan. Begitu juga yang berlaku dalam konteks marketing, kalau brand kita sudah berhasil menjadi leader di kota utama, kita ingin juga melakukan ekspansi ke kota lainnya. Kalau kita sudah punya produk untuk segmen menengah, kita jadi tergoda untuk coba-coba masuk ke segmen upper class. Namun dalam dunia pemasaran atau marketing, konsepnya bisa terbalik. Jika konsumen selalu menginginkan produk di atas kelas dari barang yang sudah dimilikinya, maka produsen bisa sebaliknya, ingin menggarap pasar yang lebih rendah dibanding pasar yang kini tengah digarapnya. Banyak kasus terjadi justru pemasar kelas premium melakukan ekspansi dengan meluncurkan produk dan merek kelas menengah. Heran? Tidak perlu! Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan fenomena ini. Pertama adalah keinginan untuk meraih pangsa pasar yang lebih luas. Seperti yang telah dijelaskan dalam diskusi kita minggu lalu, ada kalanya para pemasar tergoda untuk menjual sebanyak-banyaknya. Repotnya jika produknya adalah produk premium, tentu jumlah segmen pelanggannya relatif kecil bukan. Meraih segmen pelanggan di bawahnya atau kelas menengah adalah cara yang kerap dilakukan dengan memberikan berbagai insentif seperti potongan harga atau bonus agar produknya dapat terserap. Tapi cara ini kurang sehat bagi kelangsungan merek premium dalam jangka panjang. Faktor yang kedua adalah penetrasi produk subtitusi yang gencar. Bila produk kita pada awalnya begitu dicari karena keistimewaannya walaupun harganya mahal, maka kemunculan produk subtitusi yang memiliki ciri dan karakter yang mirip dengan harga yang berbeda dapat mengganggu penjualan kita. Selain itu, faktor lain yang mendorong munculnya produk subtitusi adalah menurunnya daya beli konsumen. Maka itu harus dicari semacam alternatif, agar produsen tetap bisa mendapatkan yang terbaik dari semua segmen pasar. Misalnya, dia tetap bisa menjual produk eksklusifnya kepada pasar menengah ke atas, namun sementara itu tetap bisa menjangkau jumlah pelanggan yang sangat banyak dari kalangan menengah ke bawah, tanpa harus membuat produk eksklusifnya kehilangan image istimewa tersebut. Di sinilah fighting brand bisa berperan. Sesuai dengan namanya, fighting brand memang diciptakan untuk "berantem" dengan produk-produk subtitusi. Selain itu, fighting brand juga dapat digunakan untuk meraih segmen sekunder diluar segmen utama kita (yang jumlahnya dapat saja jauh lebih banyak) selama segmen tersebut dinilai dapat menguntungkan. salah satu kendala terhadap fighting brand yaitu adanya anggapan bahwa memiliki 2 brand berarti memiliki pengeluaran tambahan, karena biar bagaimana pun setiap brand memerlukan treatment agar dapat diterima oleh konsumen. Tapi dari sisi lain, pengeluaran tambahan itu menjadi tidak seberapa dibandingkan bila kita harus melakukan recovery terhadap merosotnya brand image merek utama kita akibat ikut-ikutan berperang pada segmen di bawahnya. Ingatlah, bahwa selalu lebih sulit untuk mengembalikan kepercayaan dibandingkan dengan meraih atau mempertahankannya. Ingatkah Anda terhadap Citilink dari Garuda Indonesia? Ya, sejak tahun 2002 Garuda yang saat ini masih dipersepsikan sebagai airline kelas premium untuk level domestik memiliki fighting brand Citilink sebagai fighting brand untuk menghadapi perang harga. Alat-alat musik terkenal juga memainkan strategi ini. Gibson dan Fender, merek gitar elektrik legendaris, saat ini masing-masing memiliki fighting brand Epiphone dan Squire. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi pasar pengguna elektrik gitar pemula, yaitu anak muda yang sedang keranjingan rock n' roll. Jadi yakinlah, bahwa yang terbaik adalah selalu fokus kepada inti bisnis Anda, termasuk juga fokus kepada segmen pasar yang Anda tuju. Fighting brand adalah alat yang dapat kita manfaatkan untuk mengantisipasi perkembangan yang ada di pasar. Dengan fighting brand, inti bisnis Anda tidak akan terganggu sementara Anda mengantisipasi perubahan. *) Disarikan dari artikel Inu Machfud, BMI Research Jakarta yang dimuat di okezone.com |
http://ciputraentrepreneurship.com/tips-bisnis/175-penjualan-dan-pemasaran/18683-fighting-brand-strategi-perang-antarproduk.html
No comments:
Post a Comment