Peluang Usaha
Jumat, 02 Desember 2011 | 14:40 oleh Teddy Gumilar, Teddy Gumilar, Anastasia Lilin Y, Syamsul Ashar
PELUANG BISNIS GAHARU
Semerbak wangi gaharu janjikan laba memabukkan
Hampir semua orang seluruh penjuru dunia mengenal parfum dan wewangian. Baik yang digunakan untuk badan, ruangan, maupun untuk upacara-upacara adat.
Tahukah Anda, bahan dasar pembuat aroma wewangian ini berasal dari tanaman, terutama tanaman yang menghasilkan zat kimia atau lazim disebut resin? Melalui proses alami maupun buatan, batang pohon penghasil resin ini bisa mendatangkan aroma yang sangat harum. Batang kayu inilah yang lazim disebut sebagai gaharu.
Pakar agribisnis F. Rahardi menyebut, saat ini ada sedikitnya 22 spesies tanaman yang bisa menghasilkan gaharu. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya, maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal, dan begitu pula sebaliknya.
Ada tiga produk yang dihasilkan, sesuai dengan kualitas. Pertama, yang paling mahal harganya adalah gubal kayu berwarna hitam atau hitam kecokelatan yang diperoleh dari bagian pohon penghasil gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat. Nilai jualnya Rp 4 juta–Rp 150 juta per kilogram (kg).
Kedua, kamedangan, yakni kayu gaharu dengan kandungan damar wangi dan aroma yang lemah. Warnanya kecokelatan dan abu-abu, seratnya kasar, dan kayu lebih lunak. Harga jual sekitar Rp 500.000 hingga Rp 2 juta per kg. Sedangkan produk ketiga adalah kelas abu serbuk, yakni hasil pengerokan atau sisa penghancuran kayu gaharu. Harganya berkisar Rp 4.000–Rp 150.000 per kg.
Harga yang fantastis inilah yang membuat orang berlomba untuk berburu gaharu. Selama ini produksi gaharu hanya mengandalkan potensi alam, yakni dari hutan alam. Faisal Salampessy, Direktur Utama PT Ama Ina Rua, salah satu produsen gaharu, mengakui saat ini 100% gaharu Indonesia yang masuk ke pasar hampir 100% murni dari hasil alam.
Menurut perkiraan dia, saat ini masih ada potensi gaharu dari alam sekitar 36% di Papua dan belum tersentuh. Sedangkan cadangan di Sumatra kurang dari 5%, Kalimantan 8%-10%, dan Maluku 1%–2%.
Dalam beberapa tahun ke depan, gaharu alam akan menipis bahkan habis. “Kita tidak bisa terus mengeksploitasi. Jangan sampai perdagangan gaharu Indonesia diblokir dunia gara-gara hanya mengandalkan hasil alam,” katanya.
Irwansyah Uji Prasetyo Utomo, Direktur Gaharu Indonesia, mengaku, saat ini di Indonesia sendiri mulai kekurangan stok. Untuk itu, sejak 2004 Indonesia mulai membatasi perdagangan gaharu. Pemerintah mewajibkan penghasil gaharu memiliki sertifikat dari CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), lembaga pengawas perdagangan spesies yang mulai langka. Di Indonesia, pemerintah mewajibkan jual beli gaharu dengan seizin Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Sejak 2002 Indonesia berhenti memenuhi suplai gaharu dunia, terutama ke China. Misalnya, tahun lalu Indonesia mendapat kuota sebesar 250.000 ton untuk menyuplai pasar China, tapi tidak terpenuhi. Tahun ini kuota malah ditambah menjadi 500.000 ton, eksportir pun pesimistis bisa memenuhi kuota ini. Indonesia membatasi ekspor maksimal 640 ton per tahun.
Beralih ke budidaya
Karena alam tak bisa diperas terus-menerus, pebisnis gaharu mulai pembudidayaan gaharu. Beberapa varietas tanaman pun mulai dikembangkan untuk ditanam, diberi bakteri atau inokulasi, dan diharapkan bisa menghasilkan gaharu.
Tanaman penghasil gaharu ini memang sengaja ditanam, untuk kemudian dimatikan lagi. Ari Abdullah, pemilik CV Alif Perkasa, eksportir gaharu bilang, makin ganas serangan jamur yang disuntikkan ke pohon, maka makin hebat reaksi pertahanan tumbuh, sehingga makin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan pohon tersebut.
Seiring dengan upaya budidaya ini, berkembanglah bisnis budidaya gaharu secara tanggung renteng. Ada beberapa pihak yang mencoba menawarkan kemitraan bisnis gaharu ini. Kalau Anda punya duit dan lahan tapi tak punya keahlian, Anda bisa menjadi mitra pembudidayaan gaharu ini.
Seperti yang ditawarkan oleh Gaharu Indonesia. Mereka menawarkan bibit jenis Aguilaria malaccensis. Mereka mengklaim mengembangkan bibit ini dari biji. Lokasi pembibitan ada di Kasembon, Malang, pada lahan seluas 0,5 hektare (ha), bisa memproduksi bibit ratusan ribu batang per bulan.
Dalam skema kerja sama ini, Gaharu Indonesia akan memberikan pelatihan secara gratis kepada mitra petani atau pemilik lahan tiap 3 bulan, 6 bulan, dan per tahun. Pelatihan ini diberikan hingga panen.
Pelatihan-pelatihan tersebut mereka pusatkan di kantor cabang. Adapun cabang Gaharu Indonesia sudah ada di Jambi dan Kalimantan Barat. Jika tak ada aral melintang, bulan depan atau permulaan tahun mereka juga akan mengembangkan cabangnya ke Kalimantan Tengah dan Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Di Jawa Timur sendiri, Gaharu Indonesia sudah hadir hampir di semua wilayah, kecuali Banyuwangi, Jember, Tuban, dan Lamongan.
Untuk menjadi mitra, syaratnya cukup sederhana. Sebagai syarat administrasi, cuma diperlukan fotokopi KTP dan kartu keluarga (KK). Syarat berikutnya adalah mitra harus mengambil 1 paket bibit. Ada beberapa pilihan paket bibit yang bisa diambil, mulai dari Rp 500.000 untuk 20 bibit hingga Rp 10 juta untuk 400 bibit.
Dengan cara ini, margin keuntungan yang didapat jadi lebih besar. Dengan jarak tanam 3 m x 3 m, maka 180 pohon membutuhkan lahan seluas 2.000 m². Jenis Aguilaria malaccensis diperkirakan bisa dipanen setelah 7 tahun.
Kualitas dan volume gaharu yang dihasilkan setiap pohon berbeda-beda. Namun, rata-rata, dari setiap pohon bisa menghasilkan gaharu berbagai kualitas senilai Rp 15 juta– Rp 20 juta. Paling buruk, setiap pohon bisa menghasilkan Rp 5 juta. Artinya hasil minimum Rp 900 juta.
Sementara untuk pemeliharaan per pohon hingga masa inokulasi di umur 3,5 tahun–4 tahun biayanya berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Ini terdiri dari biaya pembelian bibit Rp 25.000, dan sisanya untuk pupuk dan perawatan.
Meski menguntungkan, karena sifatnya kemitraan, hasil panenan gaharu pun dibagi dua antara mitra dengan Gaharu Indonesia. Setiap hasil panen akan dibagi 60% untuk mitra, dan 40% untuk Gaharu Indonesia. Jika membudidayakan gaharu secara mandiri, keuntungan 100% tentu jadi milik petani atau pemilik lahan dan modal.
Gaharu Indonesia juga memberikan inokulasi gratis ketika diameter pohon sudah mencapai 12 cm, yang kurang lebih dicapai pada usia 3,5 tahun–
4 tahun. Jika mitra ingin membeli sendiri, harga fusarium per liter Rp 100.000–Rp 3,5 juta.
Untuk memasarkan hasil panen, mitra tidak perlu mencari jalur pemasaran sendiri karena Gaharu Indonesia akan membeli hasil panen mitra. Mereka menjamin akan membeli hasil panen berdasarkan harga pasar saat itu. Sebagai acuan harga adalah harga gaharu yang dikeluarkan oleh Asosiasi Gaharu Indonesia (Asgarin).
Gaharu Nusantara juga menawarkan pola kemitraan mirip dengan Gaharu Indonesia. Syaratnya mitra harus punya lahan sendiri dan modal.
Wibowo, pengelola Gaharu Nusantara, menjelaskan, saat ini sebagian besar mitra Gaharu Nusantara berada di Pulau Jawa. Yang membedakan adalah harga bibit Gaharu Nusantara lebih mahal, yakni Rp 35.000, dengan paket paling murah Rp 700.000 untuk 20 bibit.
Selain itu, dari sisi bagi hasil, yang diterima oleh mitra juga lebih kecil. Rasio bagi hasilnya 55% untuk mitra, 40% untuk Gaharu Nusantara, dan 5% sisanya untuk koordinator wilayah.
Yang perlu diperhatikan dalam skema kerja sama ini adalah sebagai mitra Anda harus menyiapkan biaya operasional mulai membeli bibit, tenaga untuk menanam, memupuk, merawat, dan memanen (lihat: Simulasi Investasi Gaharu).
Dengan perkiraan modal sebesar Rp 75 juta, Gaharu Nusantara mengklaim bisa mendatangkan penjualan Rp 5 miliar dalam jangka enam sampai tujuh tahun. Dengan porsi bagi hasil 55%, Anda bisa menikmati gain sebesar Rp 2,79 miliar dalam 6 tahun–7 tahun atau sekitar Rp 398 juta per tahun. Artinya, imbal hasil yang diperoleh sekitar 429% per tahun.
Perhatikan risiko
Tertarik? Jangan langsung tergiur pada hitung-hitungan di atas kertas tersebut. Perhitungan itu menggunakan patokan harga sekarang, yakni saat gaharu hanya mengandalkan hasil alam bukan budidaya. “Yang jadi problem sekarang adalah gaharu budidaya belum ada pasarnya,” terang Ari Abdullah. Ia melihat ada peluang di Singapura yang saat ini diisi Laos, Vietnam, dan Thailand. Tapi perlu inisiatif pemerintah untuk membuka pasar ke sana.
Faisal juga mengingatkan, jika ingin membudidayakan gaharu tidak usah terlalu termakan iming-iming mendapat gubal berharga mahal. Jika inokulasi berhasil, pembudidaya pasti bisa mendapat kamedangan. “Yang susah itu memang untuk mendapat gubalnya,” kata dia.
Galuh Sally Muhidin, pembudidaya gaharu di Kalimantan Selatan, juga mengingatkan, bahwa harga yang ditawarkan dalam kerjasama kurang ekonomis. Maklum harga bibit masih bisa didapat cuma dengan harga Rp 5.000 per batang. “Cara menanam gaharu itu mudah, tidak memerlukan pelatihan yang rumit,” kata Galuh yang mengklaim telah membudidayakan sekitar satu juta gaharu sejak enam tahun silam.
Karena itu Galuh menyarankan lebih baik menanam gaharu sendiri karena mudah perawat-an dan biayanya tidak mahal. Ia mengakui, imbal hasil yang ia dapat mencapai 400%-500% dari modal yang telah dikeluarkan.
Upaya melakukan budidaya juga dilakukan oleh Faisal. Ia menggandeng empat mitra pemilik lahan seluas 2,5 hektare di Banten. Ia memberikan bibit secara gratis. Lalu memberikan ongkos tanam dan pemeliharaan Rp 1.000 per pohon. Selain itu ia juga memberikan pupuk secara gratis. “Untuk inokulasi, ongkosnya kami bagi dua. Nanti kalau panen, mitra petani dapat 75%, saya dapat 25%. Tapi syaratnya, hasil panen itu dijual ke kami,” terang Faisal.
Di lahan tersebut tertanam sekitar 1.200 pohon dengan usia 5 tahun dan diameter 15 cm–20 cm. Tiga bulan lalu, mereka baru melakukan uji coba inokulasi. Hasilnya akan tampak 6 bulan lagi. Kalau berhasil, baru kami inokulasi semua. “Setahun kemudian dipanen. Pasti lebih menguntungkan,” kata dia.
Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/84264/Semerbak-wangi-gaharu-janjikan-laba-memabukkan-
No comments:
Post a Comment