Views :526 Times |
Selasa, 26 Juni 2012 15:49 |
Om
Liem--sapaan akrab Liem Sioe Liong--menjadi salah satu pengusaha
nasional yang berhasil merealisasikan kepercayaan yang diberikan
pemerintah. Ia mewariskan banyak perusahaan yang tangguh. Sulit menafikan guratan jejak bisnis Liem Sioe Liong dalam peta perekonomian Indonesia. Pria kelahiran Fuqing, Fujian, Cina, yang bersulih nama menjadi Sudono Salim dan akrab disapa Om Liem itu berhasil mendirikan sejumlah perusahaan yang kontribusinya begitu nyata bagi kehidupan masyarakat. Hampir semua orang di republik ini pernah merasakan mi instan buatan Salim Group. Bak pengelana yang ingin selalu mencari kehidupan lebih baik, itulah awal petualangan Om Liem mencari tanah yang baru. Dalam buku Kisah Sukses Liem Sioe Liong karya Eddy Soetriyono ditulis bahwa pergolakan politik dan invasi Jepang ke Cina makin mendorong Om Liem untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Kondisi ekonomi yang buruk dan tidak menentu telah memotivasi Om Liem untuk meninggalkan ibu dan adiknya, Liem Sioe Kong. Anak kedua dari tiga bersaudara buah kasih pasangan petani yang sejak anak-anak ditinggal mati ayahnya ini berniat sekali menyusul kakaknya, Liem Sioe Hie, yang sudah sembilan tahun berhasil mengadu nasib di Kudus, Jawa Tengah. Setelah sebulan lebih meninggalkan Pelabuhan Hai Kou, Futsing, Fukien, Cina, pada 1938, Om Liem akhirnya mendarat di Pelabuhan Belawan, Medan. Empat hari lamanya ia tertahan di pelabuhan karena pihak imigrasi tidak membolehkannya keluar dari area pelabuhan. Begitu kakak yang menjemputnya datang, tantangan kehidupan baru mulai ditapaki Om Liem. Dari Medan, pada umur 22 tahun, Om Liem langsung ke Kudus. Kebijakan penjajah Belanda yang tidak mengizinkan perantau Cina memiliki tanah telah mengondisikan para perantauan dan peranakan Cina menjadi tukang membuat produksi makanan rumahan dan pedagang perantara. Selain belajar dari kakaknya, Om Liem muda juga belajar dari dua pamannya, Liem Kim Tjai dan Liem Ban Hong, yang telah lebih dulu berdagang. Kudus sebagai kota perniagaan ketika itu sudah dikenal sebagai jantung industri rokok kretek. Ada 150 lebih pabrik rokok berdiri ketika itu. Bersama adiknya, Liem Sioe Kong yang dua tahun kemudian menyusul ke Kudus, mereka bertiga berhasil dalam berdagang hasil-hasil bumi, seperti beras, jagung, dan kedelai. Ketika Jepang menaklukkan Hindia Belanda pada 1942, semua urusan perdagangan dikendalikan Jepang. Separuh lebih perkebunan yang ada diganti dengan tanaman jarak untuk menghasilkan minyak pelumas bagi mesin perang Jepang. Meskipun masih berjalan, usaha dagang Om Liem ikut terempas. Beruntung, masih ada stok barang yang diperdagangkan. Jepang kalah perang dan hengkang pada Agustus 1945. Saat itu Om Liem masih memiliki beberapa karung uang Jepang. Namun, seperti diceritakan dalam buku tulisan Eddy Soetriyono, uang Jepang menjadi tidak laku. Pemerintah mengeluarkan uang baru dan setiap orang mendapat satu rupiah. ''Wah, edan, uang kok tidak laku,'' Om Liem mengenang. Meskipun sudah merdeka, Belanda tetap ingin menjajah dan bercokol di tanah Air. Dalam kancah perang kemerdekaan inilah, Om Liem secara langsung membantu pejuang yang lari dari kejaran intel Belanda. Buku Kisah Sukses Liem Sioe Liong menceritakan bagaimana organisasi pedagang Cina yang disebut Siang Boe lebih bersimpati pada perjuangan tentara Republik. Nah, Kudus yang dikuasai Republik menjadi tempat pelarian seorang pejuang yang sedang dikejar-kejar intel Belanda. Siang Boe yang melindungi pejuang itu memilih rumah Liem Sioe Liong sebagai tempat persembunyian. Om Liem dipilih karena karakternya yang pendiam, tidak menonjol, rendah hati, jujur, dan keras dalam memegang kepercayaan orang lain. Om Liem tidak pernah ingin tahu latar belakang tamunya itu. Om Liem berhasil menjaga kepercayaan itu. Di kemudian hari, Om Liem tahu bahwa tamu yang lama bersembunyi di rumahnya itu adalah Hassan Din, tokoh Muhammadiyah, ayah Fatmawati dan mertua Presiden Soekarno. Melalui Hassan Din, kemudian Om Liem dikenalkan kepada sejumlah pimpinan tentara Republik. Sejak itu, jalinan dengan tentara Republik makin erat seiring dengan usahanya dalam memasok kebutuhan militer, seperti obat-obatan dan kebutuhan pokok. Sebagai pedagang tulen, Om Liem terus menunjukkan kemampuannya berbisnis, baik pada masa sulit ketika Belanda masih bercokol maupun ketika pergi. Saat tata niaga cengkeh hancur, Om Liem melalui jaringan perdagangan yang ada di Singapura mengisi kekosongan cengkeh untuk industri rokok dengan mengimpornya dari Zanzibar dan Madagaskar. Pada 1952, Om Liem dengan sang istri, Lie Las Nio --yang biasa dipanggil Lilani-- dan anak-anaknya pindah ke Jakarta untuk memulai usahanya lebih menasional. Di Jakarta, Om Liem mulai lebih berani mengubah usaha dagangnya yang hanya berdasarkan uang ke usaha yang menghasilkan suatu produk atau atas dasar barang. Dari pengalaman memproduksi tekstik kasar dengan PT Muliatex di Kudus, Om Liem mendirikan PT Inimex dan PT Purabaya serta pabrik pemintalan dan finishing PT Tarumatex di Bandung. Usaha Om Liem di bidang tekstil ini tidak terlalu mencorong. Kemudian, untuk memajukan usaha dagangnya, terutama ekspor-impor, Om Liem mendirikan CV Waringin dan PT Permanent. Pada 7 Maret 1968, CV Waringin diubah menjadi perseroan terbatas dengan nama baru PT Waringin Kencana. Di Waringin Kencana, Om Liem tidak sendirian. Ia bermitra dengan Djuhar Sutanto asal Fukien, dengan Ibrahim Risjad asal Sigli, Aceh, yang pada 1965-1968 sudah menjadi direktur di CV Waringin, dan dengan Sudwikatmono asal Wuryantoro, Wonogiri. PT Waringin Kencana merupakan awal usaha patungan Om Liem yang besar dalam perdagangan kopi, karet, kopra, dan lada, serta impor beras dan gula. Sebelumnya, pada 1954, Om Liem mendirikan Bank Windu Kentjana untuk mendukung dunia pembiayaan. Begitu pentingnya sektor perbankan, sehingga pada 1957 Om Liem juga merintis berdirinya Bank Central Asia (BCA). BCA makin moncer ketika Om Liem cocok berpartner dengan Mochtar Riady. Kini BCA menjadi bank swasta terbesar di Indonesia. Selain mendirikan pabrik tepung PT Bogasari pada 1971 dan pabrik semen PT Indocement pada 1975, Om Liem juga mendirikan perusahaan perumahan PT Metropolitan Development. Di perusahaan ini, Ciputra bergabung kemudian. Metropolitan dikenal dengan proyek perumahan elite Pondok Indah dan Bumi Serpong Damai. Di bidang otomotif, Om Liem berkibar dengan bendera PT Indomobil pada 1971, yang awalnya mengageni sedan mewah merek Volvo, lalu pada era 1980-an terus berkembang mengageni merek Suzuki, Hino, Mazda, dan Nissan. Untuk ekspansi di luar negeri, Om Liem melalui tangan First Pacific International Ltd di Hong Kong, yang sebagian sahamnya dimiliki olehnya, terus melakukan sejumlah investasi di sektor industri dan telekomunikasi di sejumlah negara. Total, hingga menjelang krisis ekonomi 1998, Salim Group memiliki 200 lebih perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, finansial, kontraktor-real estate, otomotif, logam, makanan, tekstil, kimia, kehutanan, semen, kertas, farmasi, pakan ternak, transportasi, barang elektronik, kaca, plastik, tambang, dan lain-lainnya. Berkat bisnisnya, Om Liem masuk daftar 100 orang terkaya dunia versi Forbes. Namun krisis 1998 membuat konglomerasi bisnis Om Liem terpuruk. Namun berkat tangan dingin anak dan menantunya, kerajaan bisnis keluarga Soedono Salim kembali berkibar. Sejak krisis 1997 itu, kendali bisnis Salim Group perlahan dialihkan kepada Anthoni Salim, anak ketiga Om Liem. Om Liem yang sebelumnya tinggal rumahnya, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pindah ke Singapura. Hingga kemudian ia meninggal di sana pada Minggu 10 Juni 2012 dalam usia 96 tahun. Om Liem dimakamkan di Choa Chu Kang, Singapura, Senin 18 Juni lalu. (*/Gatra) |
http://ciputraentrepreneurship.com/manufaktur/18033-liem-sioe-liong-entrepreneur-besar-yang-pernah-dimiliki-indonesia.html
No comments:
Post a Comment