KIAT MANAJEMEN: Awas Workaholic
Waktu sudah menunjukkan jam 21.30. Tetapi, ruangan di sekitar sang pimpinan, Ron, masih menyala. Itulah kebiasaanya. Sialnya, semua anak buah Ron terpaksa harus ikut lembur.
Sementara itu, tim yang lain sudah pulang duluan, timnya Ron memang terkenal sebagai tim yang bekerja sampai larut malam. Padahal, ada beberapa unit lain yang mirip dengan pekerjaannya Ron yang tidak harus bekerja selarut itu.
Parahnya, Ron selalu mengingatkan “bekerja dengan jam tambahan adalah bukti keinginan untuk melakukan lebih [willingness to do more] yang penting untuk peningkatan karir kalian”. Anak buahnya Ron seringkali mengeluh bahwa mereka sedang bekerja untuk seorang workaholic monsters.
Nah, bicara soal workaholics, Anda pasti sudah seringkali mendengarnya. Itulah sesuatu kebiasaan kerja yang berlebihan. Sampai-sampai, ada yang mengartikan workaholic itu sebagai suatu kegemaran bekerja sampai-sampai ia melupakan segala aspek dalam hidupnya.
Bahkan, di dalam sebuah blog yang baru-baru ini seorang remaja complain tentang Ibunya yang workaholic. Begini tulisannya, “Nyokap [Ibu] adalah seorang workaholic sejati. Bayangkan betapa tidak. Ketika pulang sudah larut malam. Habis itu, ia bekerja lagi di rumah sampai kadang ketiduran. Lantas, bangun lagi dan pagi-lagi sudah kerja dan berangkat ke kantor. Saya tidak tahu, apakah ia menyadari kita, anak-anaknya masih hidup atau nggak?”
Ciri yang Perlu Diwaspadai
Seorang workaholic sejati, akan merasa bersalah kalau ia tidak melakukan sesuatu. Mereka punya kesulitan untuk rileks. Bahkan, pada saat bertamasya pun, mereka masih membawa kerjaannya.
Bagi mereka, berpiknik atau bersenang-senang ibaratnya sebuah ‘dosa’ sehingga mereka merasa harus melakukan sesuatu setiap hari. Bahkan, kalau di kantor, bagi mereka motto yang berlaku adalah, “Kalau bisa diselesaikan hari ini, mengapa harus ditunda besok”.
Akibatnya, kita melihat mereka selalu terlibat dalam kesibukan yang tiada habis-habisnya. Bahkan, untuk istirahat makan siang pun mereka merasa terlalu sayang dilewatkan dengan ngobrol dan bersenang-senang sejenak.
Seorang workaholic sebenarnya kecanduan. Hanya saja, berbeda dengan tipe ‘kecanduan’ yang negatif, workaholic kelihatannya lebih positif dan menguntungkan. Karena merupakan kecanduan, mereka yang workaholic akan menikmati dan terus-menerus bekerja, sampai-sampai tidak mengenal waktu dan tempat. Apalagi dengan berbagai gadget dan teknologi saat ini, kerjaanya pun bisa terus dibawa kemana-mana.
Namun menariknya, seorang yang workaholic tidak akan pernah mengakui bahwa dirinya kecanduan kerja. Mereka merasa, itulah kebiasaan, dan lebih parahnya lagi, dianggapnya sebagai contoh motivasi kerja yang tinggi.
Kondisi yang Merusak
Tak mengherankan, jika di awal taun 1980-an, di Jepang dikenal adanya istilah Karoshi, yang diartikan sebagai bekerja hingga mati.
Bahkan, dalam majalah Economist Desember 2007 yang berjudul “Jobs for Life: Japanese Employees Are Working Themselves to Death” dikatakan bahwa perusahaan sampai diancam untuk membayar $20,000 hingga 1 juta US$ jika karyawannya terbukti bekerja hingga mati.
Kenyataannya berbagai aturan serta ancaman, tidak mengurangi kebiasaan kerja yang tidak terkendali ini.
Seperti diungkapkan oleh Barbara Killinger, seorang psikolog klinis yang spesialisasinya soal workaholic. Ia katakan, ada berbagai simtom dan masalah yang menyertai para pecandu kerja.
Pertama-tama adalah soal kelelahan kronis (chronic fatigue). Kelelahan kronis ini terjadi akibat tubuh dipaksa untuk terus-menerus bekerja dalam situasi terburu-buru terus-menerus atau dipakai dalam skedul kerja yang berlebihan (over schedules).
Akibatnya, tubuh pun tidak bisa menahannya. Salah satu simtom penting yang seringkali kita lihat adalah tatkala orang mudah tertidur dimana saja dan kapan saja, gara-gara keletihan yang luar biasa.
Selain itu, kondisi lainnya yang tampak dari mereka yang kelebihan kerja adalah berubahnya pola tidur serta pola makannya. Dan yang juga menarik adalah soal mudahnya kehilangan konsentrasi dalam bekerja, bahkan cenderung mudah lupa dengan sesuatu.
Atau, lebih jauh lagi, seorang yang workaholic cenderung mulai menjauhkan dirinya dari keluarga dan sahabat-sahabatnya serta semakin jauh terlibat dalam pekerjaannya.
Beda dengan Motivasi Kerja
Seperti yang telah diutarakan di atas, workaholic dimulai dengan semangat kerja yang positif. Mereka yang workaholic sebenarnya punya niat baik, pada awalnya.
Mereka ingin menuntaskan pekerjaan, mereka ingin menghasilkan sesuatu, mereka ingin mencapai targetnya serta membuktikan kemampuannya. Awalnya, seorang workaholic dimulai dengan motivasi yang sehat. Hanya saja, segalanya mulai merubah ketika motivasi tersebut ternyata tidak bisa dihentikan dan orangpun mengidentifikasi dirinya dengan kerja dan kerja!
Baginya, bekerja itulah satu-satunya harga dirinya dan aspek lainnya pun mulai ditinggalkan. Inilah awal malapetaka yang membuat seorang workaholic merusak banyak aspek dalam kehidupannya.
Sebuah kisah tragis pernah terjadi pada bulan November 2009 tatkala Ranjan Das, seorang CEO dari perusahaan IT terkemuka SAP, meninggal mendadak di usia yang sangat muda, 42 tahun.
Padahal, Ranjan dikenal sebagai seorang pelari marathon yang sangat peduli kesehatan dan olah raga rutin. Penelitian dan analisa kemudian mengungkapkan salah satu alasan Ranjan Das mati muda karena karena bekerja terlalu keras hingga mengabaikan tidur. Seperti yang diungkapkannya, rata-rata ia hanya tidur 4-5 jam sehari.
Singkatnya, seorang yang termotivasi untuk bekerja tidaklah sama dengan seorang yang workaholic. Seorang yang workaholic punya problem untuk beristirahat dengan cukup, mengendalikan dan menjaga berbagai aspek dalam kehidupannya.(msb)
Sumber:
http://www.bisnis.com/articles/kiat-manajemen-awas-workaholic
No comments:
Post a Comment