Friday, November 25, 2011

Mayasari Serkarlaranti, Hasilkan Batik Berkualitas dengan Bahan Alami



Views :129 Times PDF Cetak E-mail
Rabu, 23 November 2011 13:08
Kekayaan alam nusantara yang melimpah, tak jarang menjadi sumber inspirasi bagi para entrepreneur untuk menjalankan bisnis yang kreatif. Begitu pula di bisnis pakaian, yang amat membutuhkan kreatifitas produk untuk menjaring konsumen. Salah satunya di bisnis batik, di mana Indonesia adalah trend setter dan ikon batik dunia. Hal inilah yang coba dilakukan oleh Mayasari Serkarlaranti. Dengan tanaman Indigofera tinctoria, atau lebih dikenal dengan sebutan tanaman nila, wanita yang akrab disapa Nita ini berusaha melestarikan batik Jawa dengan pewarna alami. Kini ia telah memiliki Galeri Batik Jawa sebagai tempat usahanya di lima kota, yakni Jakarta, Yogyakarta, Bekasi, Semarang, dan Bandung.

batik_INDIGODengan pewarnaan alami yang berasal dari daun indigo ini, jadilah batik yang berwarna biru, yang ia sebut dengan "Colour of The King" mengingat warna biru dipakai dalam pakaian raja-raja Jawa zaman dahulu. Namun, sekalipun dominan biru, batik indigo pun bisa dicampur dengan warna lainnya. Untuk ini, Nita pun tetap menggunakan pewarna alami, seperti dari kulit batang mahoni untuk warna coklatnya. Karena berusaha menonjolkan sisi alami dalam pemilihan bahan, tak aneh jika proses pewarnaan menggunakan indigo tidak mudah.

"Saya cuma melestarikan saja. Dulu batik Jawa semuanya pakai warna alam, salah satunya indigo. Karena, memang terus terang proses untuk batik indigo ini masih dikatakan (bisa) 15 sampai 20 kali celupan. Sementara untuk batik-batik dengan warna biru kimia cukup dua kali celup sudah selesai," terang Nita seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (23/11).

Selain itu, faktor cuaca cukup berpengaruh. Panas matahari dibutuhkan untuk proses pengeringan setelah proses celup selesai. Ia pun menyebutkan, proses celupan bisa memakan waktu dua minggu hingga satu bulan. Dari 10 kg daun itu dapat menghasilkan 1 kg campuran indigo. Perkenalan batik indigo melalui pameran pun baru dilakukan tahun 2009 di Jakarta. Namun, penelitian untuk menggunakan warna biru dari daun, yang kini ditanamnya sendiri di lahan seluas 5.000 meter persegi, telah memakan waktu tujuh tahun.

Tahun 2006, saat gempa di Yogyakarta terjadi, ia pun membuat pendampingan untuk para perajin batik di Imogiri guna melakukan pencobaan proses celup dengan daun indigo. Dengan galeri batik yang dikelolanya sejak tahun 2005, kini 90 persen produk yang dijual merupakan batik indigo, selebihnya batik titipan dari para perajin batik desa.

Nita menceritakan, dirinya sempat mengalami kendala teknis, yaitu ketersediaan daun indigo. Sebelum membudidayakannya, ia hanya mengandalkan pencarian daun di pinggir pantai, sekitar lapangan bola, sekitar pabrik gula peninggalan zaman Belanda.

Sekalipun menemui sejumlah kesulitan, seperti kenaikan harga bahan baku, ia tetap berusaha menggunakan pewarna dari daun indigo 100 persen. Meskipun sudah ada yang menjual pewarna ini di pasar, ia tetap memproduksinya sendiri karena takut sudah ada campuran kimianya.

Mengenai pemasaran, dirinya mengaku masih dalam tahap mengenalkan batik indigo ini agar dikenal oleh masyarakat Indonesia dulu sebelum menembus ke luar negeri. Namun, ia pun tidak menampik jika ada permintaan hadir di pameran-pameran yang diadakan di luar Indonesia. Saat ini ia mempunyai 20 pekerja untuk proses pencelupan. Adapun untuk proses menenun hingga menulis dengan canting, pihaknya bekerja sama dengan para perajin. Setelah lima tahun pembatikan berjalan, kini di Imogiri mulai tumbuh generasi pelanjut. Sudah ada beberapa anak remaja yang terlibat membatik.

”Kuncinya adalah pemahaman pada generasi muda bahwa batik bisa menghasilkan income yang rutin. Memang ada batik-batik yang per helainya dikerjakan sampai berbulan-bulan, tapi untuk pemasukan rutinnya, mereka juga mengerjakan batik yang motifnya mudah dan bisa diselesaikan dalam beberapa hari,” kata Nita.

Di gerainya, Nita menjual batik tulis indigo seharga Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk kain, dan Rp 350.000 sampai Rp 1,5 juta untuk baju yang sudah jadi. (*/Gentur)

Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/entrepreneur/nasional/wanita/12980-mayasari-serkarlaranti-hasilkan-batik-berkualitas-dengan-bahan-alami.html

No comments:

Post a Comment