Dalam menghadapi persaingan bisnis, seorang entrepreneur harus cermat dalam membidik pasar yang sesuai dengan produk yang ditawarkannya. Dengan konsisten dalam menggali pasar yang telah ditentukan, sebuah bisnis bisa bertahan untuk bersaing dengan kompetitor bisnis sejenis yang telah mapan. Hal itulah yang menjadi startegi My Bento, untuk bersaing di ketatnya kompetisi bisnis kuliner di Indoensia. Dengan mengusung produk makanan Jepang, My Bento memilih untuk fokus menggarap pasar menengah ke bawah sebagai sasaran pembeli potensial.
Dengan jargon usaha “makan hemat makin dekat”, My Bento berharap agar produknya bisa tersebar hingga ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Selain itu, dengan mematok harga jual yang tidak terlalu mahal, My Bento ingin agar masakan Jepang bisa menjadi salah satu makanan rakyat, yang terjangkau oleh semua golongan dan bisa diperoleh di mana saja. Selain harga yang murah meriah, My Bento pun ingin mengkampanyekan menu masakan Jepang yang menggunakan bahan baku 100% halal.
Kini, My Bento telah memiliki lebih dari 50 gerai di seluruh Indonesia. My Bento pun makin dikenal sebagai salah makanan cepat saji yang ramah dalam harga dan digemari dari segi rasa, khususnya di kalangan anak muda. Namun, siapa sangka jika bisnis ini awalnya lahir dari sebuah praktikum matakuliah yang diarsiteki oleh 4 orang mahasiswa?
Bermula saat Dede Suleiman dan empat orang rekannya mendapatkan sebuah tugas kuliah untuk membuka dan menjalankan sebuah usaha, tahun 2006. Pria yang kini baru berusia 26 tahun ini mengaku ingin total dalam menciptakan sebuah peluang bisnis baru, dan ingin sungguh-sungguh meneruskan bisnis tersebut. Ia pun melihat bahwa bisnis makanan Jepang cukup potensial untuk serius digarap.
“Awalnya memang tugas mata kuliah kewirausahaan yang mengharuskan kami untuk membuat suatu bisnis. Namun, kami harus mencari modal sendiri untuk usaha tersebut. Karena sudah mengeluarkan modal yang buat saya tidak sedikit, maka saya rasa sayang jika usaha ini tidak kami seriusi. Karena satu dari kami bisa memasak, maka kami memilih untuk mencoba bisnis kuliner, khususnya masakan Jepang. Apalagi saat itu tidak banyak bisnis kuliner Jepang yang ada,” Ungkap Dede saat berbincang dengan Ciputraentrepreneurship.com, di salah satu gerainya di Bintaro, Tangerang Selatan.
Nama My Bento dipilih karena memiliki arti “bekal saya”. Dengan demikian, Dede dan teman-temannya berharap suatu saat nanti bisnis ini bisa menjadi bekal dan rezeki yang baik di masa depan. Sadar bahwa sudah ada kompetitor produk sejenis yang telah jauh mapan, My Bento pun merancang strategi pasar dengan membidik golongan menengah ke bawah sebagai calon konsumen potensial. Dede berpendapat, saat itu restoran makanan Jepang hanya bisa ditemui di kota-kota besar saja, dan dibeli oleh orang-orang tertentu saja. Melihat peluang tersebut, My Bento pun ingin menciptakan citra makanan Jepang yang merakyat.
”Saat ini bisnis makanan Jepang yang ada, selalu memfokuskan pada pasar menengah ke atas dan ke kota-kota besar. Nah kami lalu melihat pasar masyarakat yang tinggal di kota-kota kecil, ternyata juga menyukai jenis makanan Jepang. Dari saya saya melihat sangat potensial jika kami mendekatkan produk kami ke mereka, terjangkau, dari segi tempat dan harga,” jelas Dede.
Sebagai sebuah proyek perkuliahan, Dede dan ketiga rekannya memang tidak memiliki modal yang besar saat memulai usaha. Dengan modal Rp 15 juta, Dede pun mulai usahanya dengan sangat sederhana, di daerah Lampung. Itupun dengan menggunakan ruko milik kerabat salah satu rekannya. Pada tahun pertama menjalankan bisnisnya, Dede pun hampir mengalami kebangkrutan, dan akhirnya dua orang rekannya mundur dari usaha My Bento, dengan alasan ingin berkarier sebagai karyawan. Menghadapi kondisi tersebut, Dede mengaku tak patah arang. Ia merasa bisnis yang dijalaninya adalah sebuah pertaruhan karier dan masa depannya. Ia pun memilih untuk tetap berjuang menjalankan bisnisnya.
“Ketakutan-ketakutan muncul ketika mulai sepi. Seandainya saya tidak bisa mengganti uang modal yang saya pinjam dari orangtua, pasti orangtua saya tidak akan mendukung langkah saya sebagai pebisnis. Karena dari awal memang orangtua saya sudah tidak setuju bila saya terjun ke dunia bisnis. Sebuah pertaruhan harga diri. Toh saat itu saya belum mempunyai tanggungan apapun, dan saya masih berstatus mahasiswa. Jika sampai saya lulus, bisnis saya belum berhasil, saya siap banting stir menjadi pegawai. Namun saya dan teman saya sampai sejauh ini bisa membuktikan bahwa kami bisa bertahan menjalankan bisnis My Bento,” sambung Dede.
Demi memajukan usahanya, My Bento pun kini memilih jalur waralaba dengan sasaran mitra di daerah. Dengan pilihan paket mulai dari Rp 21 juta sampai dengan Rp 250 juta, calon mitra bisa memilih untuk menjalankan usaha My Bento mulai dari paket sederhana hingga premium. Selain itu, My Bento pun menstandarkan gerai mereka dalam bentuk permanen, agar bisa memberikan kenyamanan pada konsumen. Dari segi menu, My Bento juga menawarkan menu Jepang yang otentik dan memilih untuk bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Unilever, untuk menstandarkan racikan bumbu yang dipakai. Dengan cara tersebut, My Bento pun mulai dikenal sebagai makanan murah namun berkualitas.
Dengan bisnis yang terus berkembang, kedepannya My Bento menargetkan bisa membuka 10 gerai per tahunnya. Selain itu dalam waktu dekat ini, My Bento juga membidik pasar di wilayah Indonesia bagian timur sebagai target ekspansi usaha.
“Kami ingin agar My Bento bisa sampai ke tiap provinsi di Indonesia. Khususnya untuk daerah seperti Ambon, Sulawesi, dan Papua, yang rencananya akan segera kami dekati berikutnya. Setelah ambisi kami tercapai, selanjutnya bukan tidak mungkin kalau brand kami bisa menembus pasar Mancanegara, khususnya Negara-negara tetangga kita,” ujar Dede.
Di usianya yang masih sangat muda, Dede telah membuktikan bahwa seorang entrepreneur bisa bertahan menjalankan bisnisnya jika ada dedikasi dan konsisten menjalankan bisnisnya. Terlebih bagi anak muda yang memilih jalan hidup menjadi seorang wirausahawan, yang seringkali patah arang dalam menghadapi cobaan dalam bisnisnya.
“Secara umum, bila kita telah memilih sebuah usaha untuk dijalankan, kita harus bisa konsisten dalam mengembangkan usaha tersebut. Seorang wirausahawan harus memiliki dedikasi tinggi terhadap bisnis yang ia telah jalankan. Jangan pernah takut terhadap halangan, karena tidak ada bisnis yang tampa halangan. Masalahnya hanyalah bagaimana kita bisa menghadapi halangan tersebut,” ucap Dede dengan yakin. (*/Gentur)
Dengan jargon usaha “makan hemat makin dekat”, My Bento berharap agar produknya bisa tersebar hingga ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Selain itu, dengan mematok harga jual yang tidak terlalu mahal, My Bento ingin agar masakan Jepang bisa menjadi salah satu makanan rakyat, yang terjangkau oleh semua golongan dan bisa diperoleh di mana saja. Selain harga yang murah meriah, My Bento pun ingin mengkampanyekan menu masakan Jepang yang menggunakan bahan baku 100% halal. Kini, My Bento telah memiliki lebih dari 50 gerai di seluruh Indonesia. My Bento pun makin dikenal sebagai salah makanan cepat saji yang ramah dalam harga dan digemari dari segi rasa, khususnya di kalangan anak muda. Namun, siapa sangka jika bisnis ini awalnya lahir dari sebuah praktikum matakuliah yang diarsiteki oleh 4 orang mahasiswa?
Bermula saat Dede Suleiman dan empat orang rekannya mendapatkan sebuah tugas kuliah untuk membuka dan menjalankan sebuah usaha, tahun 2006. Pria yang kini baru berusia 26 tahun ini mengaku ingin total dalam menciptakan sebuah peluang bisnis baru, dan ingin sungguh-sungguh meneruskan bisnis tersebut. Ia pun melihat bahwa bisnis makanan Jepang cukup potensial untuk serius digarap.
“Awalnya memang tugas mata kuliah kewirausahaan yang mengharuskan kami untuk membuat suatu bisnis. Namun, kami harus mencari modal sendiri untuk usaha tersebut. Karena sudah mengeluarkan modal yang buat saya tidak sedikit, maka saya rasa sayang jika usaha ini tidak kami seriusi. Karena satu dari kami bisa memasak, maka kami memilih untuk mencoba bisnis kuliner, khususnya masakan Jepang. Apalagi saat itu tidak banyak bisnis kuliner Jepang yang ada,” Ungkap Dede saat berbincang dengan Ciputraentrepreneurship.com, di salah satu gerainya di Bintaro, Tangerang Selatan.
Nama My Bento dipilih karena memiliki arti “bekal saya”. Dengan demikian, Dede dan teman-temannya berharap suatu saat nanti bisnis ini bisa menjadi bekal dan rezeki yang baik di masa depan. Sadar bahwa sudah ada kompetitor produk sejenis yang telah jauh mapan, My Bento pun merancang strategi pasar dengan membidik golongan menengah ke bawah sebagai calon konsumen potensial. Dede berpendapat, saat itu restoran makanan Jepang hanya bisa ditemui di kota-kota besar saja, dan dibeli oleh orang-orang tertentu saja. Melihat peluang tersebut, My Bento pun ingin menciptakan citra makanan Jepang yang merakyat.
”Saat ini bisnis makanan Jepang yang ada, selalu memfokuskan pada pasar menengah ke atas dan ke kota-kota besar. Nah kami lalu melihat pasar masyarakat yang tinggal di kota-kota kecil, ternyata juga menyukai jenis makanan Jepang. Dari saya saya melihat sangat potensial jika kami mendekatkan produk kami ke mereka, terjangkau, dari segi tempat dan harga,” jelas Dede.
Sebagai sebuah proyek perkuliahan, Dede dan ketiga rekannya memang tidak memiliki modal yang besar saat memulai usaha. Dengan modal Rp 15 juta, Dede pun mulai usahanya dengan sangat sederhana, di daerah Lampung. Itupun dengan menggunakan ruko milik kerabat salah satu rekannya. Pada tahun pertama menjalankan bisnisnya, Dede pun hampir mengalami kebangkrutan, dan akhirnya dua orang rekannya mundur dari usaha My Bento, dengan alasan ingin berkarier sebagai karyawan. Menghadapi kondisi tersebut, Dede mengaku tak patah arang. Ia merasa bisnis yang dijalaninya adalah sebuah pertaruhan karier dan masa depannya. Ia pun memilih untuk tetap berjuang menjalankan bisnisnya.
“Ketakutan-ketakutan muncul ketika mulai sepi. Seandainya saya tidak bisa mengganti uang modal yang saya pinjam dari orangtua, pasti orangtua saya tidak akan mendukung langkah saya sebagai pebisnis. Karena dari awal memang orangtua saya sudah tidak setuju bila saya terjun ke dunia bisnis. Sebuah pertaruhan harga diri. Toh saat itu saya belum mempunyai tanggungan apapun, dan saya masih berstatus mahasiswa. Jika sampai saya lulus, bisnis saya belum berhasil, saya siap banting stir menjadi pegawai. Namun saya dan teman saya sampai sejauh ini bisa membuktikan bahwa kami bisa bertahan menjalankan bisnis My Bento,” sambung Dede.
Demi memajukan usahanya, My Bento pun kini memilih jalur waralaba dengan sasaran mitra di daerah. Dengan pilihan paket mulai dari Rp 21 juta sampai dengan Rp 250 juta, calon mitra bisa memilih untuk menjalankan usaha My Bento mulai dari paket sederhana hingga premium. Selain itu, My Bento pun menstandarkan gerai mereka dalam bentuk permanen, agar bisa memberikan kenyamanan pada konsumen. Dari segi menu, My Bento juga menawarkan menu Jepang yang otentik dan memilih untuk bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Unilever, untuk menstandarkan racikan bumbu yang dipakai. Dengan cara tersebut, My Bento pun mulai dikenal sebagai makanan murah namun berkualitas.
Dengan bisnis yang terus berkembang, kedepannya My Bento menargetkan bisa membuka 10 gerai per tahunnya. Selain itu dalam waktu dekat ini, My Bento juga membidik pasar di wilayah Indonesia bagian timur sebagai target ekspansi usaha.
“Kami ingin agar My Bento bisa sampai ke tiap provinsi di Indonesia. Khususnya untuk daerah seperti Ambon, Sulawesi, dan Papua, yang rencananya akan segera kami dekati berikutnya. Setelah ambisi kami tercapai, selanjutnya bukan tidak mungkin kalau brand kami bisa menembus pasar Mancanegara, khususnya Negara-negara tetangga kita,” ujar Dede.
Di usianya yang masih sangat muda, Dede telah membuktikan bahwa seorang entrepreneur bisa bertahan menjalankan bisnisnya jika ada dedikasi dan konsisten menjalankan bisnisnya. Terlebih bagi anak muda yang memilih jalan hidup menjadi seorang wirausahawan, yang seringkali patah arang dalam menghadapi cobaan dalam bisnisnya.
“Secara umum, bila kita telah memilih sebuah usaha untuk dijalankan, kita harus bisa konsisten dalam mengembangkan usaha tersebut. Seorang wirausahawan harus memiliki dedikasi tinggi terhadap bisnis yang ia telah jalankan. Jangan pernah takut terhadap halangan, karena tidak ada bisnis yang tampa halangan. Masalahnya hanyalah bagaimana kita bisa menghadapi halangan tersebut,” ucap Dede dengan yakin. (*/Gentur)
Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/component/content/article/196-exclusive-interview/11550-my-bento-optimistis-bidik-pasar-menengah-ke-bawah.html
Keinginan membantu sesama membuat Ahmad Nuril Wahyudin bersemangat menjadi pengusaha. Produsen merek tas Amphibi dan Reptile itu bahkan bisa menembus pasar ekspor ke mancanegara. Selain menyediakan lapangan kerja bagi warganya, Nuril berbahagia bisa mendulang omzet lebih dari Rp 150 juta per bulan.
Sebelum menjadi juragan tas merek Amphibi dan Reptile, Nuril Wahyudin adalah pelukis. Karena ingin membuka lapangan kerja, Nuril mendirikan usaha pembuatan tas secara patungan bersama seorang temannya. Namun, di tengah jalan usaha itu pecah kongsi. Alhasil, Nuril pun bikin usaha secara mandiri.
Perawatan pasien tak harus dilakukan di rumah sakit. Dalam kondisi tertentu, seperti tahap pemulihan, peningkatan derajat kesehatan, dan lainnya, pasien bisa dirawat di rumah. 


Bagi
sebagian orang, membayangkan mendirikan sebuah usaha seakan-akan
terlalu muluk atau dengan kata lain tak terjangkau. Modal, networking,
pengetahuan serta mental entrepreneur yang serba terbatas menjadi
penyebab di balik semua ketakutan semu tersebut. Padahal, membuka usaha
bisa dimulai dari skala kecil dan tidak harus melulu dalam level besar.
Sepanjang seseorang itu mau bekerja keras, memiliki passion yang kuat serta mempunyai daya kreativitas yang tinggi, peluang usaha dalam bentuk apapun bisa terbuka lebar.
Topik menarik ini saya kemukakan di Twitter tadi malam (27/ 8). Saya teringat pernah ditanya oleh seorang ibu dalam seminar entrepreneurship di mana saya menjadi pembicara utamanya, "Pak Ciputra, bagaimana kurikulum entrepreneurship di pendidikan dini ke sekolah menengah, sudah dibuatkah? Atau sudah dibuat di Universitas Ciputra?" Demikian pertanyaannya yang dipenuhi antusiasme.
Anda
telah bermimpi memiliki usaha sendiri selama bertahun-tahun? Atau Anda
telah mempertimbangkan diri sebagai pengusaha? Mimpi dan keinginan
tersebut dapat diwujudkan dengan bermodalkan keberanian dalam mengubah
ide menjadi sebuah bisnis.
Bisnis keluarga mampu bertahan berkesinambungan puluhan tahun jika dikelola secara profesional, dengan tetap mewariskan budaya keluarga. Pewaris tahta bisnis keluarga, perlu dipersiapkan jauh hari, untuk mengenali seluk-beluk bisnis agar nantinya mampu melanjutkan kesuksesan yang telah dirintis pendirinya. Menyiapkan regenerasi secara matang menjadi kunci kesuksesan sejumlah bisnis keluarga. Lantas seperti apa caranya?
’’Selama ini ubi jalar hanya dimasak menjadi kolak, digoreng atau direbus, sehingga tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kemudian saya mencoba untuk berinovasi menjadikan ubi sebagai camilan stik renyah dan sirup,’’ kata Agustina.
Salah
satu mitos terbesar dalam entrepreneurship ialah asumsi bahwa, “Yang
paling saya butuhkan ialah ide bagus dan beberapa investor akan
memberikan dana besar yang saya butuhkan untuk membangun bisnis.” Pada
kenyataannya, para investor mendanai rencana bisnis yang berkualitas,
bukan impian muluk-muluk. Yang paling penting adalah pelaksanaannya.
Dalam
dunia bisnis, setiap orang harus selalu siap untuk bertemu dan menjalin
hubungan baik dengan orang baru. Sayangnya, tak semua orang punya
kemampuan memulai komunikasi dengan baik.
Sebuah rencana bisnis menjelaskan model bisnis, produk, layanan, pasar, strategi, serta kebutuhan pendanaan untuk bisnis baru atau perubahan bisnis yang sedang dikerjakan. Rencana bisnis diperlukan untuk mendorong investor masuk ke dalam perusahaan. Dengan masuknya investor ke dalam perusahaan diharapkan rencana bisnis yang telah dibuat dapat direalisasikan. 


ni semacam kontes kecantikan sapi perah. Abun menang karena eksterior tubuhnya ideal untuk sapi perah keturunan inseminasi buatan (IB) masa laktasi pertama. Produksi susunya ideal bagi ternak sejenis dan seumurnya, yakni 38 liter per hari.
Salah satu dilema entrepreneur ialah mendefinisikan produk baru atau mendefinisikan apa yang sebenarnya baru atau unik dalam sebuah ide. Sebuah gagasan baru mungkin menciptakan produk baru atau hanya sekedar pengemasan ulang dan memodifikasi produk yang sudah ada. Misalnya, Microsoft Word yang memperbarui versi perangkat lunaknya, meskipun hanya memiliki perubahan kecil.
Dalam menjalankan bisnis offline, kita pasti membutuhkan tempat untuk memajang produk-produk kita. Sewa tempat dalam setahun paling tidak membutuhkan dana sekitar Rp 5 juta.
Desa Kuncen di Kabupaten Klaten adalah salah satu sentra produksi emping melinjo. Lebih dari 100 perajin memproduksi emping melinjo dengan peralatan yang masih sederhana. Marak sejak 1980-an, Sumini membawa keberhasilan usaha emping melinjo sehingga ditiru penduduk desa.