Jumat, 23 September 2011 13:41 |
Di antara para produsen sepatu domestik yang dikenal, ada nama Edward Forrer. Berangkat dari usaha yang dijual door-to-door, kini Edward menjadi salah satu produsen sepatu dalam negeri yang namanya populer hingga mancangara. Sekilas namanya memang bukan orang pribumi. Edo –panggilan Edward Forrer—memang tidak banyak dikenal kalau dibandingkan dengan brand produk sepatunya yang kini dikenal di mancanegara. Edo memang menjual merek Edward Forrer yang tak lain adalah namanya sendiri. Persisnya merek produk sepatu dan tas untuk pria dan wanita. Mengawali bisnis sepatu ini sejak 1989, Edo mulai merambah pasar negeri tetangga seperti Australia pada tahun 2003. Tiga tahun kemudian (26 November 2006) masuk ke Malaysia. Untuk menangani pasar internasional itu pula, sebuah kantor cabang dibuka di Kuala Lumpur. Namun sebelum melanglang ke mancanegara, produk ini sudah menyebar ke kota-kota besar di Indonesia. Edward kini memiliki paling sedikit 47 gerai di sejumlah kota di Indonesia. “Saya memulai usaha ini memulai segalanya dengan modal tekad, plus sebuah mesin jahit pinjaman serta sepeda kayuh,” ujar Edo. Ia terus mengibarkan semangat, terlebih ia menjadi tulang punggung keluarga yang harus membiayai tiga adik. "Saya harus berhasil karena Ibu dan adik-adik menjadi tanggung jawab saya. Saya melakukan pekerjaan apa saja demi menyambung hidup," ujar pria kelahiran 25 Oktober 1966 ini. Jangan bayangkan Edo berangkat dari keluarga berada. Kehidupannya jauh dari cukup. Edo bercerita ia amat trenyuh pada suatu malam, adiknya terbangun dari tidur, karena seharian mereka belum makan, ibunya hanya bisa menyuruh adiknya minum. Tapi beruntung saat itu ada tetangga Edo yang datang membawa beras dan telor. Akhirnya tengah malam Edo dan keluarganya bisa makan. Kondisi serba kekurangan inilah, Edo tergerak menyelesaikan SMA-nya dan langsung kerja di pabrik sepatu di bagian gudang. Mula-mula Edo muda bergabung dengan sebuah perusahaan sepatu. Di tempatnya bekerjanya inilah, Edo menimba pengalaman dan keahlian membuat sepatu. Edo yang punya hobi menggambar berusaha mendisain sepatu dan diajukan ke kantornya, tapi ditolak. Sejak itu, Edo berusaha keras untuk bisa membuat sepatu sendiri dari disainnya. Mulai dari membuat pola dan menjahit. Tentu saja sulit sekali, karena harus belajar sendiri. Tapi setelah bisa, Edo mengundurkan diri. Pada pertengahan September 1989, Edo keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dan memberanikan diri merintis bisnis sendiri. Ia nekat keluar dari perusahaan sepatu yang selama bertahun-tahun menjadi tempat menggantungkan hidup. Dengan modal sebuah mesin jahit pinjaman, Edo memulai usahanya. Ia berkeliling mengayuh sepeda, dari pintu ke pintu, menawarkan jasa membuat sepatu. Di tas gendongnya selalu tersedia beberapa contoh sepatu. Konsumen dapat memesan sepatu sesuai contoh atau menurut selera konsumen sendiri. Edo sendiri memiliki memiliki kemampuan menggambar yang memungkinkannya mampu membuat sketsa sepatu langsung di hadapan pemesan. Semua sepatu yang dihasilkannya diberi label sesuai namanya: Edward Forrer. Karena dijual dengan cara yang dianggap ‘aneh’, tak jarang Edo sering mendapat cemoohan daripada order. Perlakuan buruk pun sering diterimanya. Bahkan ia menceritakan dirinya sempat diusir karena dicurigai hendak berbuat jahat. Diusir dengan tidak sopan dan kata-kata kasar sudah jadi santapan. Sebagai manusia Edo juga punya batas kesabaran. “Saya sempat merasa putus asa,” ujarnya. Namun ia mencoba tegar kembali. Sambil membuat sepatu, Edo berusaha bertahan dengan memberikan les matematika dan renang. Namun dari kegiatannya inilah Edo justru semakin dikenal melalui sepatunya. Dari para orangtua murid yang diberi les, Edo mulai menerima pesanan. Perlahan langganannya bertambah. Seminggu, Edo menerima lima order sepatu. Ia menangani sendiri seluruh lini usahanya, dari membeli bahan kulit, membuat pola, menjahit, menempel sol, hingga mengantarkannya ke pemesan. Dari para pemesan, produk Edo mulai menyebar. Dari hanya lima order seminggu, Edo mulai menerima lima pesanan sehari. Ia pun mencari tenaga tambahan. Pada Agustus 1992, Edo mulai membuka toko kecil di Gang Saad, Kota Bandung. Ia mempekerjakan 16 perajin sepatu dan dua pegawai toko. Konsumen tak perlu lagi memesan karena Edward Forrer, begitu Edo menamai tokonya, menyediakan beragam sepatu pria dan wanita. Meski stok tersedia, Edo tetap menerima pesanan. Dari sini ia mengetahui model sepatu yang digemari masyarakat. Model itu lantas dikembangkan untuk desain produknya. Dalam beberapa tahun, produk sepatu bikinan Edo semakin dikenal. Buktinya banyak wisatawan, baik dari dalam maupun dari luar negeri yang berkunjung ke Bandung, bila ingin berbelanja sepatu, selalu menyempatkan mampir ke gerai Edo. Pada saat krisis moneter datang tahun 1997, bisnis sepatu buatan Edo justru tidak terimbas malah sebaliknya, semakin melambung. Ini lantaran Edo telah memiliki stok bahan baku untuk beberapa tahun. Berbeda dari para kompetitornya yang terpaksa menyesuaikan harga, Edo malah bertahan dengan harga lama. Harga jual produk Edo saat itu antara Rp 100.000 dan Rp 400.000. Di saat-saat itu, penjualan Edward Forrer pun melesat. Edo sampai membuka tiga gerai baru khusus di Bandung demi memenuhi permintaan konsumen. Tahun-tahun berikutnya menjadi masa kejayaan Edward Forrer. Pada 2003, Edward Forrer beralih dari perusahaan perorangan menjadi perseroan terbatas. Hasilnya, pada semester pertama tahun 2003, Edward Forrer telah memiliki 16 gerai. Tujuh di antaranya berada di Bandung dan dua gerai di Bali. Sisanya menyebar di Jakarta, Jogjakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Semarang, dan Malang. Tepat, 17 Agustus 2003, pertama kali Edward Forrer membuka gerai di luar negeri. Tepatnya di 333 George Street, Sydney, Australia. Dua tahun kemudian, pada awal 2005, Edward Forrer mulai membuka sistem waralaba. Dengan model bisnis seperti ini, gerai Edward Forrer pun bertambah kian cepat. Termasuk membuka kantor di Kuala Lumpur, tahun 2006. Hingga saat ini, Edo sudah memperkerjakan sekitar 200 karyawan. Edo memiliki pandangan, seorang wiraswastawan sejati akan selalu tegar, meski jalan menuju sukses tak selalu mulus. “Jika pembeli sudah kenal dengan produk yang dijual, bukan berarti kerja keras berakhir. Meski jalan usaha sudah terbuka dengan adanya pesanan, rintangan yang dihadapi masih besar,” ujarnya. Persoalan apapun yang dihadapi dalam berbisnis akan bisa diatasi dengan keyakinan, kreativitas, dan keuletan. (*/dari berbagai sumber) |
Sumber:
http://ciputraentrepreneurship.com/manufaktur/11366-kisah-sukses-edward-forrer-berbisnis-sepatu.html
No comments:
Post a Comment