PELUANG BISNIS SARUNG KERIS
Mengukir laba pembuatan warangka yang makin langka
Tak banyak orang yang masih setia menggeluti pembuatan sarung keris atau warangka. Namun, di Yogyakarta, perajin warangka masih bisa ditemukan. Seperti yang dilakukan oleh Subardi dan Mudjiran. Subardi kini banyak memenuhi pesanan warangka dari kolektor benda pusaka.
Keris menjadi pusaka yang wajib disandang masyarakat Jawa dalam berbagai acara tertentu. Sebagai pusaka, keris dan sarungnya atau disebut warangka juga bisa menjadi koleksi bernilai tinggi.
Salah satu perajin yang setia membuat warangka adalah Subardi di Bantul, Yogyakarta. "Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau melestarikannya," katanya. Memulai usaha pembuatan warangka sejak 1990, Subardi mengatakan warangka buatannya lebih banyak diminati para kolektor.
Tak salah jika warangka hasil buatan Subardi memiliki nilai jual tinggi yakni mencapai Rp 16 juta. Tingkat kerumitan yang tinggi dan bahan baku yang semakin langka membuat harga jual warangka cukup menguras kantong.
Ia mengaku, sebanyak 50% pesanan yang datang berasal dari kolektor benda-benda pusaka. "Biasanya yang mahal pesanan kolektor," katanya. Beberapa kolektor yang datang padanya datang dari Semarang, Surabaya, Bandung dan Purworejo.
Walaupun begitu, Subardi tetap melayani pesanan warangka dari toko penjual suvernir dan pernak-pernik Jawa langganan seperti Intan Pusaka Jaya dan Mirota Batik. Untuk toko-toko itu, ia membuatkan warangka dengan harga bervariasi minimal Rp 50.000 per unit.
Harga jual warangka tergantung dari kerumitan dan bahan baku. Untuk pesanan toko, Subardi memakai kayu jati, mahoni dan sonokeling. Adapun warangka pesanan kolektor dari bahan baku kayu kemuning, cendana, teseh, dan timo. Beberapa pesanan tertentu juga meminta bahan baku gading gajah.
Harga paling mahal untuk warangka gading Rp 9 juta hingga 16 juta. Sedangkan warangka berbahan kayu timo harganya Rp 250.000 hingga Rp 3 juta. "Yang lain di bawah Rp 1 juta," katanya.
Warangka sendiri dibagi menjadi deder, warangka, gandar, mendak dan pendok. Tiap daerah di Jawa, menurut Subardi memiliki kekhasan dan ukuran masing-masing. Tiap hari dia bisa memproduksi sekitar tiga warangka yang semuanya pasti terjual.
Dari usaha ini, Subardi mengaku bisa memperoleh omzet rata-rata Rp 10 juta per bulan. Omzet itu bisa melonjak dua kali lipat menjelang satu Suro atau Muharram. Bulan Muharram memang dianggap sebagian masyarakat Jawa sebagai bulan sakral.
Mudjiran Widiutomo di Yogyakarta juga menggeluti usaha pembuatan warangka sejak 1980. Kakek tiga cucu ini mengatakan, tidak hanya dari Jawa, dia juga membuat model warangka dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan warangka corak Malaysia.
Mudjiran membutuhkan waktu sekitar 2 hari untuk mengerjakan satu warangka. Dari kerja kerasnya tersebut, dia dibayar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per unit untuk bahan baku dan jasa ukir. Sedangkan untuk jasa ukir warangka saja, biayanya Rp 200.000 sampai Rp 250.000 per unit. "Untuk menyesuaikan atau menyetel warangka dengan keris ada tambahan biaya Rp 100.000," katanya.
Tak seperti Subardi yang tiap hari membuat warangka, Mudjiran hanya mengerjakan warangka jika ada pesanan. "Bahan baku makin susah dan mahal," katanya. Pekerjaan yang dilakukannya lebih pada hobi. Namun, jelang bulan Muharram order pembuatan warangka naik.
Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/v2/read/peluangusaha/77598/Mengukir-laba-pembuatan-warangka-yang-makin-langka
No comments:
Post a Comment