Senin, 10 Desember 2012 | 10:09 WIB
Program
pengembangan kepemimpinan yang ada lebih banyak melatih cara memberi
umpanbalik, ketimbang cara menerima dan mengolah umpan balik dengan
bijaksana.
KOMPAS.com
- Jujur dan objektif dalam memberi umpan balik mengenai sikap, kinerja,
ketrampilan individu jelas bukan hal mudah. Namun, kita tahu bahwa ini
kritikal bagi pengembangan diri anak buah, sehingga memang tidak bisa
kita hindari.
Ya, umpan balik menjadi komoditi penting dalan transaksi “coaching”. Tidak heran dalam kegiatan pelatihan coaching, porsi terbesar yang dilatihkan adalah pemberian umpan balik. Harapan kita tentu saja, bila sebagian besar eksekutif sudah mengikuti sertifikasi coaching, para atasan ini akan trampil memberi umpan balik, dan selanjutnya, budaya coaching pasti akan tumbuh.
Tapi, pada kenyataannya, hal ini tidak selalu terjadi, bukan? Kita bisa melihat ada lingkungan kerja di mana semua orang sudah dilatih untuk memberi umpan balik, namun tetap kegiatan coaching-nya tidak mengalir mulus dan kontinu. Bahkan, saat program coaching digalakkan, dengan dialokasikannya waktu-waktu khusus, yang terjadi malah program tersebut menjadi kaku, formal dan tidak efektif. Kita tentu jadi berpikir keras, mencari tahu letak salahnya.
Sebuah penelitian terhadap 28.000 manajer di 117 perusahaan yang berbeda, menemukan bahwa pemberian umpan balik masih sangat rancu. Berdasarkan riset ini, hal yang dinilai lebih sulit malah ternyata umpan balik ke atas, yaitu memberi masukan pada atasan. Terlepas dari latar belakang budaya, keinginan untuk menyenangkan orang lain, apalagi atasan, selalu ada.
Inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam pengembangan budaya coaching, yaitu menyaring dan menyampaikan kebenaran, sekaligus menjaga kenyamanan di lingkungan kerja. Bila para anak buah ragu memberi umpan balik pada atasan sebagai coach mereka, dan para atasan sendiri masih kesulitan untuk menerima umpan balik secara jujur, bagaimana mungkin hubungan baik yang melandasi coaching bisa terbentuk?
Pelajaran pertama: menerima umpan balik
Dalam buku Primal Leadership: Realizing the Power of Emotional Intelligence, Daniel Goleman dkk, menggunakan istilah “The CEO Disease”, yaitu gejala di mana para pimpinan tertinggi tidak bisa merasakan suasana hati organisasinya, kehilangan kepekaan untuk meraba tingkat kejujuran dalam organisasi. Penyebabnya adalah kurangnya keterbukaan pimpinan untuk meraba, mendengar, dan menggali umpan balik.
Bisa kita bayangkan, bila tokoh kunci dalam organisasi menghalalkan umpan balik yang "tidak jujur" terhadap dirinya, bagaimana mungkin organisasi akan mengupayakan keterbukaan di lingkungan tersebut?
Riset mengatakan bahwa pemimpin dengan EQ tinggi biasanya mengejar umpan balik, baik positif maupun negatif. Namun, mengapa tidak semua orang bisa melakukannya dengan mudah? Dalam ilmu psikologi, kita mengenal istilah mechanism of defensiveness, yaitu energi yang digunakan individu untuk “membentengi” diri, agar kritik, umpan balik tidak “melukai” harga dirinya.
Inilah yang menyebabkan umpan balik kerap mental, tidak membuat individu melakukan upaya perbaikan. Alih-alih membuka diri terhadap umpan balik, individu bisa jadi malah menunjukkan sikap anti-kritik, mencari pembenaran, bahkan “ngeles” alias “denial”.
Sayangnya program pengembangan kepemimpinan yang ada, lebih banyak melatih cara memberi umpanbalik, ketimbang cara menerima dan mengolah umpan balik dengan bijaksana. Padahal “A good coach must have been a good coachee”. Sebelum kita memberikan umpanbalik, kita perlu mengasah kemampuan untuk menerima, mencerna, dan mengolah umpanbalik dengan efektif.
Sebagai pimpinan, kita perlu menyusun mekanisme baru, agar reaksi kita positif atas umpan balik yang diterima, kemudian mengarahkan energi untuk melakukan perubahan diri positif berdasar masukan tadi. Proses perubahan ini haruslah transparan, terbuka dan terlihat oleh lingkungan kerjanya.
Selain untuk menghargai pemberi umpanbalik, hal ini penting untuk memberikan teladan bagaimana mengubah diri ke arah yang lebih baik. Jadi, di samping cara mengekspresikan umpan balik, ada pra-kondisi yang perlu dikembangkan agar komunikasi perbaikan kinerja bisa terutarakan dengan nyaman.
Kejujuran dan kepekaan sebagai sahabat sejati
Hasnul Suhaimi, CEO XL Axiata, pernah membuka pembicaraan dengan mengatakan: “Apa ya yang harus saya kembangkan lagi, agar lebih sukses?”. Beliau mengirim signal bahwa ia terbuka untuk kritik, bahkan mengejarnya. Jelas sekali betapa beliau sudah biasa menerima dan mengolah umpan balik yang diberikan pada dirinya. Tak ada warna kekhawatiran dan sikap defensif dalam perilakunya, bahkan terasa benar sikap “nothing to loose”, apa adanya.
Sikap rileks dan mudah beradaptasi inilah yang justru menjadi kekuatan utama dalam membangun suasana “coaching”. Beliau berkeyakinan bahwa begitu kita "takut diserang", pada saat itulah hubungan rusak. Kita memang perlu percaya bahwa begitu sikap defensif membudaya, "learning" akan macet. Dan, bila "self directed learning" terhenti, perusahaan akan sulit berubah.
“Coaching” yang efektif selalu “one on one” dan diwarnai hubungan pribadi, rasa percaya, dan kejujuran yang kental. Jadi, lagi-lagi, pemimpin perlu pasang badan untuk "berhadapan" dengan coachee dan menyatakan pendapat mengenai kinerjanya, apa dampaknya ke dirinya sendiri, bukan mengatasnamakan orang lain, tim atau bahkan perusahaan.
Hasnul Suhaimi menyebut umpan balik sebagai "sahabat sejati". Masukan itu harus dijaga, agar si coache tetap mindful, obyektif tentang penilaian dirinya, dan mendorong dirinya sendiri untuk melihat kesempatan berubahnya. Beliau mengingatkan bahwa coach yang andal harus peka terhadap porsi masukan yang diberikan. Contoh-contoh perilaku akan membuat pesan kita lebih clear, tapi porsinya harus pas dan tidak menyudutkan. Pada saat seorang coachee sudah memberi tanda bahwa ia menangkap pesannya, misalnya dengan mengatakan, “Ooo, begitu, ya, saya akan perbaiki”, kita pun perlu stop di situ dulu.
Kita perlu tahu bahwa kita sudah menyentuh “the sweet spot” dan memberi kesempatan pada coachee untuk menggarap dirinya. Kesuksesan seorang coach, menurut beliau, bisa ditakar dari masukan yang kita dapat. Hasnul menikmati komentar seperti, ”Seumur hidup belum ada yang memberi tahu saya mengenai ini, dan ini akan saya improve, pak. Terimakasih.” Hasnul Suhaimi menjadi pembicara pada seminar "The Power of Coaching", tanggal 6 Desember 2012 lalu.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Ya, umpan balik menjadi komoditi penting dalan transaksi “coaching”. Tidak heran dalam kegiatan pelatihan coaching, porsi terbesar yang dilatihkan adalah pemberian umpan balik. Harapan kita tentu saja, bila sebagian besar eksekutif sudah mengikuti sertifikasi coaching, para atasan ini akan trampil memberi umpan balik, dan selanjutnya, budaya coaching pasti akan tumbuh.
Tapi, pada kenyataannya, hal ini tidak selalu terjadi, bukan? Kita bisa melihat ada lingkungan kerja di mana semua orang sudah dilatih untuk memberi umpan balik, namun tetap kegiatan coaching-nya tidak mengalir mulus dan kontinu. Bahkan, saat program coaching digalakkan, dengan dialokasikannya waktu-waktu khusus, yang terjadi malah program tersebut menjadi kaku, formal dan tidak efektif. Kita tentu jadi berpikir keras, mencari tahu letak salahnya.
Sebuah penelitian terhadap 28.000 manajer di 117 perusahaan yang berbeda, menemukan bahwa pemberian umpan balik masih sangat rancu. Berdasarkan riset ini, hal yang dinilai lebih sulit malah ternyata umpan balik ke atas, yaitu memberi masukan pada atasan. Terlepas dari latar belakang budaya, keinginan untuk menyenangkan orang lain, apalagi atasan, selalu ada.
Inilah yang menjadi salah satu masalah utama dalam pengembangan budaya coaching, yaitu menyaring dan menyampaikan kebenaran, sekaligus menjaga kenyamanan di lingkungan kerja. Bila para anak buah ragu memberi umpan balik pada atasan sebagai coach mereka, dan para atasan sendiri masih kesulitan untuk menerima umpan balik secara jujur, bagaimana mungkin hubungan baik yang melandasi coaching bisa terbentuk?
Pelajaran pertama: menerima umpan balik
Dalam buku Primal Leadership: Realizing the Power of Emotional Intelligence, Daniel Goleman dkk, menggunakan istilah “The CEO Disease”, yaitu gejala di mana para pimpinan tertinggi tidak bisa merasakan suasana hati organisasinya, kehilangan kepekaan untuk meraba tingkat kejujuran dalam organisasi. Penyebabnya adalah kurangnya keterbukaan pimpinan untuk meraba, mendengar, dan menggali umpan balik.
Bisa kita bayangkan, bila tokoh kunci dalam organisasi menghalalkan umpan balik yang "tidak jujur" terhadap dirinya, bagaimana mungkin organisasi akan mengupayakan keterbukaan di lingkungan tersebut?
Riset mengatakan bahwa pemimpin dengan EQ tinggi biasanya mengejar umpan balik, baik positif maupun negatif. Namun, mengapa tidak semua orang bisa melakukannya dengan mudah? Dalam ilmu psikologi, kita mengenal istilah mechanism of defensiveness, yaitu energi yang digunakan individu untuk “membentengi” diri, agar kritik, umpan balik tidak “melukai” harga dirinya.
Inilah yang menyebabkan umpan balik kerap mental, tidak membuat individu melakukan upaya perbaikan. Alih-alih membuka diri terhadap umpan balik, individu bisa jadi malah menunjukkan sikap anti-kritik, mencari pembenaran, bahkan “ngeles” alias “denial”.
Sayangnya program pengembangan kepemimpinan yang ada, lebih banyak melatih cara memberi umpanbalik, ketimbang cara menerima dan mengolah umpan balik dengan bijaksana. Padahal “A good coach must have been a good coachee”. Sebelum kita memberikan umpanbalik, kita perlu mengasah kemampuan untuk menerima, mencerna, dan mengolah umpanbalik dengan efektif.
Sebagai pimpinan, kita perlu menyusun mekanisme baru, agar reaksi kita positif atas umpan balik yang diterima, kemudian mengarahkan energi untuk melakukan perubahan diri positif berdasar masukan tadi. Proses perubahan ini haruslah transparan, terbuka dan terlihat oleh lingkungan kerjanya.
Selain untuk menghargai pemberi umpanbalik, hal ini penting untuk memberikan teladan bagaimana mengubah diri ke arah yang lebih baik. Jadi, di samping cara mengekspresikan umpan balik, ada pra-kondisi yang perlu dikembangkan agar komunikasi perbaikan kinerja bisa terutarakan dengan nyaman.
Kejujuran dan kepekaan sebagai sahabat sejati
Hasnul Suhaimi, CEO XL Axiata, pernah membuka pembicaraan dengan mengatakan: “Apa ya yang harus saya kembangkan lagi, agar lebih sukses?”. Beliau mengirim signal bahwa ia terbuka untuk kritik, bahkan mengejarnya. Jelas sekali betapa beliau sudah biasa menerima dan mengolah umpan balik yang diberikan pada dirinya. Tak ada warna kekhawatiran dan sikap defensif dalam perilakunya, bahkan terasa benar sikap “nothing to loose”, apa adanya.
Sikap rileks dan mudah beradaptasi inilah yang justru menjadi kekuatan utama dalam membangun suasana “coaching”. Beliau berkeyakinan bahwa begitu kita "takut diserang", pada saat itulah hubungan rusak. Kita memang perlu percaya bahwa begitu sikap defensif membudaya, "learning" akan macet. Dan, bila "self directed learning" terhenti, perusahaan akan sulit berubah.
“Coaching” yang efektif selalu “one on one” dan diwarnai hubungan pribadi, rasa percaya, dan kejujuran yang kental. Jadi, lagi-lagi, pemimpin perlu pasang badan untuk "berhadapan" dengan coachee dan menyatakan pendapat mengenai kinerjanya, apa dampaknya ke dirinya sendiri, bukan mengatasnamakan orang lain, tim atau bahkan perusahaan.
Hasnul Suhaimi menyebut umpan balik sebagai "sahabat sejati". Masukan itu harus dijaga, agar si coache tetap mindful, obyektif tentang penilaian dirinya, dan mendorong dirinya sendiri untuk melihat kesempatan berubahnya. Beliau mengingatkan bahwa coach yang andal harus peka terhadap porsi masukan yang diberikan. Contoh-contoh perilaku akan membuat pesan kita lebih clear, tapi porsinya harus pas dan tidak menyudutkan. Pada saat seorang coachee sudah memberi tanda bahwa ia menangkap pesannya, misalnya dengan mengatakan, “Ooo, begitu, ya, saya akan perbaiki”, kita pun perlu stop di situ dulu.
Kita perlu tahu bahwa kita sudah menyentuh “the sweet spot” dan memberi kesempatan pada coachee untuk menggarap dirinya. Kesuksesan seorang coach, menurut beliau, bisa ditakar dari masukan yang kita dapat. Hasnul menikmati komentar seperti, ”Seumur hidup belum ada yang memberi tahu saya mengenai ini, dan ini akan saya improve, pak. Terimakasih.” Hasnul Suhaimi menjadi pembicara pada seminar "The Power of Coaching", tanggal 6 Desember 2012 lalu.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini
http://female.kompas.com/read/2012/12/10/1009434/Umpan.Balik.dalam.Coaching
No comments:
Post a Comment