KIAT MANAJEMEN: Bukan Zona Nyaman
“ Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat “ ( Friedrich Nietzsche ).
Syahdan suatu kisah, berapa orang nelayan Jepang berburu ikan salmon di samudra luas. Samudra itu cukup jauh dari daratan yang mengakibatkan kebanyakan ikan salmon hasil tangkapan sudah mati ketika tiba di darat. Jelas ini bukan hal yang dikehendaki. Konsumen menghendaki ikan segar. Akibat lanjutan, ikan salmon menjadi menumpuk, membusuk tidak terjual.
Para nelayan kemudian urun-rembuk menggulangi soal ini. Pertama-tama, mereka coba menaruh ikan salmon hasil tangkapan ke dalam sebuah bak air. Hasilnya, ikan salmon tetap mati karena tidak tahan melintasi perjalanan ke darat yang sangat panas dan lama. Lalu dicoba cara lain.
Kali ini mereka taruh bongkahan es ke dalam bak air dengan harapan suhu panas dapat dikurangi. Namun, ikan salmon tetap mati juga. Berkali-kali cara lain dicoba, hasilnya sama saja. Suatu saat, seorang nelayan secara iseng (mungkin juga bercampur rasa jengkel) memasukkan seekor anak hiu kecil ke dalam bak air tempat salmon tangkapan ditaruh. Luar biasa ! Ikan-ikan salmon itu malah tetap hidup hingga di daratan, tidak seperti sebelumnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata, di dalam bak, ikan-ikan salmon bergerak terus tanpa henti karena diburu oleh anak ikan hiu. Pergerakan itulah yang membuat salmon-salmon mengeluarkan kekuatan terbaik dan tetap hidup.
Seekor kelinci yang tertembak peluru di kakinya, tetap berhasil lolos dari kejaran anjing pelacak milik sang pemburu. Karena kehebatannya dalam meloloskan diri, saudara-saudaranya menghampiri dan mengelilinginya seraya bertanya, takjub, “Anjing pemburu itu galak dan larinya kencang sekali, bagaimana kamu bisa lolos dari kejarannya? “. Kelinci menjawab, “ Anjing itu berusaha menangkapku sekuat tenaga. Sedangkan aku berlari mati-matian. Jika anjing itu gagal menangkapku, paling-paling dia akan dicaci-maki majikannya. Kalau aku tidak berjuang, berlari mati-matian, nyawaku akan melayang. Itu kondisi yang berbeda sekali.”
Seorang kawan saya, seorang ibu dengan dua anak yang sudah dewasa, pernah bercerita, bagaimana mereka berjuang keras, sepeninggal wafat sang suami agar tetap dapat bertahan hidup dengan baik. Terhadap anak kedua khususnya, sang kawan ini cukup was-was. Begitu sang suami wafat, si anak, dengan kondisi ekonomi yang berubah, sang kawan harus menyesuaikan dirinya.
Si anak nomor dua yang pintar tetapi cenderung bandel dan bermalas-malasan, perlu mendapat peringatan ekstra. “Mama hanya punya tabungan untuk bayar kuliahmu satu setengah tahun lagi. Kalau Adi tidak selesai dalam tempo itu, rasanya kita akan kesulitan,” sang kawan mengingatkan anak keduanya, Adi.
Pekerja Keras
Nampaknya Adi menyadari benar kondisi yang membahayakan ini. Lalu ia pun banting stir. Dari kuliah sekadar kuliah, Adi berubah menjadi mahasiswa paling giat dan paling tekun. Ia belajar dan belajar, hingga tamat kuliah tepat waktu.
Seorang kawan yang relatif belia, seorang pengusaha – eksportir pelbagai bumbu-bumbu makanan, dikenal sangat spartan dalam bekerja. Seminggu 60 – 70 jam itu standar waktu minimum kerja baginya (bukan sekadar 40 jam).
Kalau lagi ngobrol, dan ditanya alasan kenapa bekerja gila-gilaan, dia akan sangat serius mengatakan pejelasannya, “Usaha saya ini sangat ditopang pinjaman yang besar dari bank. Kalau sampeyan lihat buku keuangan saya, sampeyan pasti akan ikut ngeri. Saya punya tanggungan besar di situ. Saya harus berpacu terus supaya kewajiban-kewajiban dan asset saya tetap seimbang. Sementara, saya harus menghidupi sekitar 500 orang karyawan langsung, dan beberapa ribuan tenaga kerja yang bersandar sepenuhnya terhadap usaha ini.”
Kondisi demi kondisi yang dalam posisi-posisi terancam memang bukan posisi yang nyaman. Ini adalah posisi kontra terhadap kondisi yang dikenal sebagai comfort zone ( zona nyaman ).
Dalam kondisi comfort zone, segala sesuatu ada tersedia. Segala sesuatu mengalir lancar. Berbisnis dalam comfort zone misalnya, pasar terbentang luas, penuh potensi menggiurkan. Sumber dana (funding capability) sangat cukup. Arus kas keuangan (cash-flow) bagus sekali. Karyawan-karyawan baik-baik dan memiliki produktivitas tinggi. Seluruh mekanisme sistem perusahaan berjalan baik. Aturan dari pemerintah sangat membantu kelancaran bisnis. Life is so beautiful ...
Namun, patut diwaspadai, comfort zone adalah kondisi yang bisa memabukkan. Ibarat mengendarai mobil di jalan tol yang panjang, lengang, lancar tanpa gangguan sama sekali. Timbulnya kantuk dan kemudian terlena sangat mungkin terjadi. Dan bila itu terjadi, jelas akan membahayakan keselamatan jiwa.
Demikianlah, kondisi bukan zona nyaman sepatutnya disikapi secara bijaksana. Krisis demi krisis yang terjadi, layak ditanggapi secara positif. Krisis demi krisis adalah bagian normal dari siklus kehidupan, yang akan membuat sebagian manusia semakin pintar dan kuat (sebagian lainnya terpental).
Pada ujungnya, secara spiritual, nasihat Harry S. Truman, Presiden Amerika Serikat kala itu, amat relevan, “Jangan berdoa untuk mendapatkan kehidupan yang mudah. Berdoalah menjadi orang yang makin kuat dan makin kuat.” (Ilustrasi:staff.ub.ac.id) (msb)
*Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Rental Kendaraan Indonesia (Asperkindo)
http://www.bisnis.com/articles/kiat-manajemen-bukan-zona-nyaman
No comments:
Post a Comment