Thursday, January 3, 2013

INSPIRASI FATICHUN

INSPIRASI FATICHUN

Fatichun pasok batik seragam PNS di Salatiga (1)

Fatichun pasok batik seragam PNS di Salatiga (1)
Usia yang tidak lagi muda ternyata tidak menghalangi seseorang untuk memulai usaha. Begitu juga dengan Fatichun, 64 tahun. Di usianya yang sudah tua, ia sukses mengibarkan batik khas daerahnya, Salatiga,  Jawa Tengah,
Awal mula perkenalannya dengan bisnis batik terjadi saat ia mendapat pelatihan dari Dinas Pariwisata Kota Salatiga pada 2008. Saat itu, ia baru dua tahun pensiun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemkab Semarang.
"Walau sudah pensiun saya itu tidak betah berdiam diri tanpa pekerjaan," kata ayah dua putri ini. Lantaran masih ingin memiliki kesibukan, ia pun semangat mengikuti pelatihan mengenai bisnis batik selama 15 hari.
Kendati singkat, ia mengaku banyak mendapat pelajaran penting mengenai seluk beluk bisnis batik. Pelatihan itu sendiri memang mendorong para pesertanya terjun ke usaha batik.
Makanya, tak lama dari mengikuti pelatihan itu, ia langsung memutuskan terjun ke usaha pembuatan batik dengan brand Batik Selotigo. "Kebetulan saat pensiun, saya memang berniat membuka usaha," ujarnya.
Ia pun langsung mempraktikkan seluruh ilmu dan pengalaman yang didapatnya dari pelatihan, terutama menyangkut teknik produksi dan pemasaran.
Keputusan Fatichun terjun ke bisnis batik ini cukup berani. Pasalnya, dari 20 peserta pelatihan, hanya ia saja yang memutuskan terjun ke usaha batik.
Namun, keputusannya itu tidak salah. Dalam waktu singkat, ia sukses meraup omzet lebih dari Rp 100 juta per bulan.
Bisnisnya makin berkembang setelah Walikota Salatiga mewajibkan setiap PNS di daerahnya memakai batik khas Salatiga sebagai seragam kantor.
Makanya, pelanggan Batik Selotigo kebanyakan masyarakat setempat, khususnya dari instansi pemerintah. “PNS di Pemkot Salatiga diharuskan memakai pakaian berbahan kain batik khas Salatiga setiap hari Rabu sampai Sabtu,” katanya.
Peraturan yang berlaku mulai tahun 2010 itu turut mendorong kelancaran usahanya. Sejak saat itu, orderan dari pegawai pemerintah kota Salatiga membludak.
Bila sebelumnya hanya bisa menjual ratusan potong kain batik per bulan, kini permintaan terhadap kain batiknya mencapai ribuan potong."Dalam sebulan, saya bisa menjual sekitar 3.000 potong batik," katanya.
Selain menjual batik dalam bentuk kain lembaran, ia juga menjual batik dalam bentuk kemeja dan rok. Produk batiknya beragam dari batik tulis hingga batik cap, dan dibanderol mulai Rp 80.000 - Rp 250.000 per pieces.
Fatichun mengatakan, keputusan pemerintah itu merupakan bentuk dukungan terhadap industri kecil menengah (IKM) di Salatiga, terutama untuk produk kain batik.
Fatichun mengaku, tanpa bantuan pemerintah, bisnis batiknya akan sulit berkembang. Apalagi, batik khas Salatiga belum begitu dikenal
Usia batik Salatiga memang tergolong baru dibandingkan batik dari daerah lain, seperti Solo, Pekalongan, Cirebon, dan Yogyakarta. Fatichun sendiri mengklaim kalau  dirinya termasuk pelopor batik khas Salatiga.

Fatichun, juragan batik yang tak bisa membatik (2)

Fatichun, juragan batik yang tak bisa membatik (2)

Batik khas Salatiga sudah mulai diciptakan pada tahun 2004. Namun, pemerintah setempat baru serius mengembangkan batik khas daerah itu pada 2008, ketika Dinas Pariwisata Salatiga mengadakan pelatihan seputar batik.
Fatichun (64) menjadi salah satu pesertanya, sekaligus menjadi satu-satunya peserta yang terjun ke bisnis batik. Peserta lainnya tidak melakukan hal yang sama karena kekurangan modal.
Tidak lama setelah mendapat pelatihan, Fatichun langsung memulai usaha batik. Fatichun mengaku, merogoh kocek Rp 150 juta buat modal awal mendirikan usaha batik dengan brand Selotigo.
Modal itu digunakan untuk membeli perlengkapan membatik dan mendirikan galeri batik di Jalan Raya Salatiga – Bringin kilometer (km) 2, Watu Rumpuk, Salatiga.
Waktu itu, Fatichun mengaku mendapatkan pinjaman modal dari anaknya sendiri yang tengah bekerja di Jepang. Menjadi pengusaha batik sukses sering kali membuat orang menyangka Fatichun memiliki keterampilan membatik. Padahal, pemilik usaha batik Selotigo ini mengaku sama sekali tidak bisa membatik.
Maklum, usaha batik baru dimulainya ketika ia sudah berumur 60 tahun. Saat itu, ia baru dua tahun pensiun dari PNS Kabupaten Semarang. "Jangankan membatik, menjahit kain saja saya tidak bisa," katanya.
Lantaran tidak memiliki keterampilan membatik, saat awal memulai usaha, ia  langsung mendatangkan delapan orang pembatik dari Pekalongan dan Sidoarjo.
Saat itu, masih belum banyak pembatik profesional dari Salatiga. Seluruh kegiatan produksi diserahkan pada para pembatik tersebut. Ia hanya menjalankan manajemen batik Selotigo.
Setelah mendapatkan sumber daya manusia (SDM), Fatichun mencari merek dagang yang dirasa mampu mewakili visinya memajukan batik khas daerahnya.
Awalnya, ia mau memakai nama "Salatiga". "Tapi ketentuannya nama kota tidak bisa dijadikan merek dagang," ujarnya. Karena itu, ia memilih nama Selotigo yang memiliki arti tiga batu yang bertumpuk.
Nama ini memiliki kesamaan arti dengan motif "Watu Rumpuk" yang menjadi ciri khas batik daerah Salatiga. Pada tahun 2010, Fatichun mulai memasarkan batik Selotigo melalu internet, terutama di Facebook dan blog. Namun cara ini dirasa kurang efektif sehingga Fatichun tidak meneruskannya.
Sekarang, Fatichun fokus melakukan pemasaran lewat radio lokal. Dalam beberapa kesempatan, ia diundang menjadi pembicara talkshow di radio seputar batik khas Salatiga. Di situ, ia juga mempromosikan produk batiknya.
Selain itu, ia juga rajin mengikuti pameran di beberapa kota, seperti Semarang, Kudus, dan Grobogan. Fatichun juga pernah mengikuti fashion show khusus produk batik.
"Waktu itu ada acara pemilihan model. Batik saya terpilih diikutkan pada fashion show," katanya. Selama empat tahun menjalankan usaha batik, Fatichun masih belum menemukan pembatik asli Salatiga.
Padahal, ia ingin menambah desain batik khas Salatiga agar lebih bervariasi.   

Fatichun mendongkrak pamor batik Salatiga (3)


Fatichun mendongkrak pamor batik Salatiga (3)

Walau diciptakan tahun 2004, batik khas Salatiga baru serius dikembangkan oleh pemerintah setempat pada 2008 lalu. Fatichun termasuk salah seorang pelopor industri batik Salatiga dengan merek dagang Selotigo.
Sebetulnya, menjadi pelopor industri batik Salatiga jauh dari impian Fatichun. Apalagi, sejak awal pria pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) ini tak pernah memiliki keinginan menjadi pengusaha.
Keinginan untuk berwiraswasta baru muncul saat Fatichun pensiun sebagai pegawai Pemerintah Kabupaten Semarang tahun 2006. "Walau sudah pensiun, saya tidak betah berdiam diri tanpa pekerjaan," kata ayah dua putri ini.
Perkenalannya dengan dunia batik terjadi saat mengikuti pelatihan yang digelar Dinas Pariwisata Kota Salatiga pada 2008. Sejak mengikuti pelatihan itu, Fatichun belajar banyak seputar dunia batik khususnya batik Salatiga.
Fatichun mengatakan, batik Salatiga sering juga disebut dengan batik plumpungan. Motif batik plumpungan diciptakan pertama kali tahun 2004 dan menjadi motif batik yang paling terkenal di Salatiga.
Nama plumpungan berasal dari Prasasati Plumpungan yang sarat nilai filosofi dan sejarah bagi Salatiga. Gagasan dasarnya ialah mengambil bongkahan batu tulis yang terdapat pada Prasasti Plumpungan.
Makanya, yang menjadi ciri khas batik plumpungan adalah gambar dua bulatan batu yang terdiri dari batu besar dan kecil yang saling berimpitan.
Selain plumpungan, batik Salatiga juga memiliki beberapa motif lain, seperti bayang-bayang, cempaka mekar, gendongan, genggong, dan watu rumpuk plumpungan. Semua motif ini ada di butik milik Fatichun.
Menurut Fatichun, batik Salatiga mempunyai beberapa kelebihan. Misalnya, warna yang awet dan tidak mudah luntur. Mayoritas kelirnya juga cerah sehingga disukai banyak kalangan masyarakat. "Saya sengaja pakai warna ngejreng pada batik saya supaya anak muda juga suka," ujarnya.
Kendati sudah sukses, Fatichun belum puas dengan usaha batiknya saat ini. Ia terobsesi membuka sekolah membatik bagi warga Salatiga. Sebab, pembatik yang terampil di Salatiga realtif jarang.
Rencananya, Fatichun akan menjadikan butik batiknya sebagai tempat pelatihan membatik. Dengan membuka tempat pelatihan, dia berharap, semakin banyak orang yang tertarik mendalami batik Salatiga  dan mengembangkannya di masa mendatang.
Fatichun juga berkeinginan, kelak Salatiga bisa terkenal sebagai kota penghasil batik, semisal Pekalongan dan Solo. "Kalau daerah lain saja bisa mendapatkan identitas penghasil batik, tentunya Salatiga juga bisa," ucapnya yakin.
Batik Salatiga, Fatichun bilang, sangat potensial dikembangkan. Saat ini saja, peminat produk batiknya meliputi hampir semua kalangan.
Dari kalangan artis, contohnya, butik batiknya pernah dikunjungi Dwi Andika sdan Shezi Idris. Tapi, lantaran usianya sudah tidak muda lagi, dia berencana mewariskan bisnis batiknya ke anaknya.      

(Selesai)
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/fatichun-pasok-batik-seragam-pns-di-salatiga-1/2012/12/26
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/fatichun-juragan-batik-yang-tak-bisa-membatik-2/2012/12/27
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/fatichun-mendongkrak-pamor-batik-salatiga-3

No comments:

Post a Comment