Friday, January 13, 2012

SENTRA ANYAMAN BAMBU MAJALENGKA






Peluang Usaha

 
Rabu, 11 Januari 2012 | 14:43  oleh Hafid Fuad
SENTRA ANYAMAN BAMBU MAJALENGKA
Sentra anyaman bambu Majalengka: Masih bertahan walau mulai tersisih (1)
Kendati zaman berubah, produk kerajinan anyaman bambu masih menjadi primadona masyarakat. Salah satu sentranya yang sampai sekarang masih bertahan ada di Majalengka, Jawa Barat. Walau tak sejaya dulu, kerajinan bambu masih menjadi tambatan hidup warga di daerah itu.

Sebelum berbagai produk rumah tangga dari bahan aluminium atau plastik masuk ke pasaran, dulu, ibu-ibu rumah tangga membekali perabot rumah tangganya dengan berbagai produk anyaman bambu. Biasanya kerajinan bambu itu biasanya untuk mengisi perlengkapan dapur dan peralatan rumah tangga lainnya.

Namun seiring usia zaman, kerajinan anyaman dari bambu perlahan tersisihkan. Kemajuan teknologi membuat produk dari anyaman bambu kalah dengan produk-produk pengganti yang lebih tahan lama.

Toh, usaha kerajinan yang terbilang rumit itu tetap hidup. Salah satu sentranya ada di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Usaha tersebut menjadi sumber penghasilan sampingan masyarakat di beberapa kecamatan di Majalengka seperti di Sukahaji, Rajagaluh, Palasah, Leuwimunding, dan Sindangwangi.

Salah satu desa yang sebagian besar warganya menggantungkan rezeki dari kerajinan anyaman bambu ada di Salagedang, Kecamatan Sukahaji. Usaha anyaman bambu sampai saat ini masih menjadi lumbung pendapatan penduduk setempat.

Desa tersebut bisa ditempuh selama 30 menit melalui jalan darat dari pusat kota Majalengka menuju arah Cirebon. Tidak terlalu sulit untuk menemukan sentra kerajinan tersebut, karena kita bisa melihat beberapa kios yang menjajakan kerajinan bambu beraneka bentuk. Kios tersebut sebagai penanda bahwa masyarakat di sekitar merupakan perajin anyaman bambu. "Deretan kios di pinggiran jalan itu merupakan tempat berjualan penduduk sekitar," kata Jamil, salah satu perajin anyaman bambu.

Masuk ke dalam desa lagi, kita bisa menemukan aktivitas sesungguhnya para perajin anyaman bambu tersebut. Tumpukan produk anyaman yang belum selesai banyak teronggok di samping-samping rumah penduduk. Ada juga onggokan bilah-bilah bambu yang baru saja disiapkan untuk membuat anyaman. Bambu yang baru disayat itu diletakkan di tempat yang terlindung dari panas dan hujan supaya tidak cepat rusak ketika ingin dibuat produk anyaman.

Jamil, perajin di desa Salagedang mengungkapkan, hampir seluruh warga di desanya berprofesi sebagai perajin anyaman bambu. Dia sendiri telah menekuni usaha ini sejak 10 tahun lalu mengikuti jejak sang orang tua yang juga perajin anyaman bambu.

Kebanyakan profesi ini ditekuni kaum pria. Tapi para ibu rumah tangga juga ikut turun tangan membuat berbagai anyaman, mulai dari kipas tangan, bakul nasi, kukusan, hingga topi tani.

Menurut Jamil, usaha ini bagi para ibu rumah tangga hanya sampingan saja pengisi waktu luang saja selain bertani dan mengurus anak. "Biasanya suami akan menularkan kemampuannya kepada istri untuk menganyam," ujar Jamil yang berusia 42 tahun itu.

Penduduk menjual produk anyaman itu dengan harga bervariasi. Misalnya kipas tangan Rp 2.000 untuk ukuran kecil, bakul Rp 10.000 untuk ukuran besar. Namun, menurut Jamil, produk yang paling banyak dibuat penduduk sekitar adalah boboko atau bakul kecil yang seharga Rp 7.000 per buahnya.

Sebulan ia bisa menjual dua kodi produk anyamannya itu dengan harga Rp 150.000 per kodi. "Saya lebih suka membuat bakul yang lebih kecil karena lebih banyak peminatnya," ujar Jamil.

Semua perajin di desa tersebut akan menjual produknya kepada seorang pengepul yang mempunyai kios di jalan utama kabupaten. Pengepul ini akan membeli produk anyaman dengan sistem grosir dan menjualnya kembali langsung di kios tersebut.

Nuroh, pemilik kios kerajinan bambu, bilang bahwa kerajinan bambu itu dijual kepada pelancong atau ke pedagang lain yang berasal dari Majalengka dan luar kota. Selain sekitar Majalengka, pembeli kerajinan mereka juga berasal dari Jakarta. "Omzet saya dalam sebulan bisa mencapai Rp 30 juta," ujarnya senang. 
 
Kamis, 12 Januari 2012 | 13:45  oleh Hafid Fuad
SENTRA ANYAMAN BAMBU MAJALENGKA, JAWA BARAT
Sentra anyaman bambu Majalengka: Harga jual anyaman bambu sulit naik (2)
Usaha anyaman bambu belum menjadi sumber ekonomi unggulan yang menjanjikan bagi para perajin di Desa Salagedang, Sukahaji, Majalengka. Hal ini lantaran harga jual produk anyaman bambu sulit bergerak naik. Agar asap dapur tetap mengepul, umumnya para perajin di desa tersebut mempunyai usaha lain.

Dus, kini kegiatan menganyam bambu hanya dilakukan bak sekadar mengisi waktu luang saja demi menambah pemasukan bagi warga sekitar. Mata pencaharian utama penduduk sekitar kebanyakan justru berdagang barang kelontong atau berdagang pakaian.

Hal itu diakui Tatang Sukmana, salah satu warga Desa Salagedang yang memilih mengandalkan sandaran rezeki dari berdagang baju di pasar Kecamatan Sukahaji, ketimbang menganyam bambu. Apalagi, sang istri juga tak terlalu mahir membuat kerajinan dari bambu itu.

Pilihan berdagang juga dilakoni oleh banyak warga lain di sentra produk anyaman bambu tersebut untuk menyambung hidup. Menurut Tatang, kesulitan yang dialami oleh perajin ialah rendahnya nilai jual kerajinan anyaman bambu.

Padahal untuk membuat sebuah produk anyaman membutuhkan waktu yang lumayan lama dan ketelatenan agar produknya layak jual. "Harga produk anyaman sulit sekali untuk naik seperti barang lain," ujar Tatang.

Proses pembuatan produk anyaman bambu memakan waktu lama karena memang pengerjaannya yang masih sederhana. Para perajin hanya berbekal peralatan sederhana, seperti celurit, golok, gergaji, dan tali untuk membuat aneka produk kerajinan dari bilah bambu.

Tatang juga mengatakan, mayoritas perajin tidak mempunyai target produksi harian atau mingguan. Itu lantaran mereka hanya menganggap pekerjaan itu sebagai sambilan semata sehingga mereka mengerjakan ketika memiliki waktu senggang saja.

Kondisi ini juga yang dikeluhkan para pengumpul produk anyaman bambu yang mengaku kesulitan mendapat kepastian pasokan. Sebab, setiap kali pasokan anyaman bambu datang, terkadang sudah langsung ludes terjual oleh pembeli pertama.

Padahal terkadang, pesanan membanjir. "Saya tidak bisa menjanjikan barang pesanan tersebut akan ada atau tidak," ujar Nuroh Jamin, salah satu pengepul yang memiliki kios produk anyaman bambu di Salagedang.

Nuroh bilang, penjualan produk anyaman bambu paling ramai ketika menjelang Lebaran tiba. Pada saat itu, banyak pembeli dari luar Majalengka memborong produk kerajinan dari bambu itu untuk dijual kembali. Mereka berasal dari Cikarang, Cikampek, Sumedang, bahkan juga dari Jakarta.

Karena pasokan dari perajin seret, Nuroh tak hanya mengandalkan pasokan produk anyaman bambu dari desanya saja. "Saya dan suami tidak hanya menunggu pasokan, namun aktif mencari pasokan dari tempat lain," ujar Nuroh. Ini untuk berjaga-jaga bila permintaan dari pembeli tiba-tiba melimpah. 
 
Jumat, 13 Januari 2012 | 15:33  oleh Hafid Fuad
SENTRA ANYAMAN BAMBU MAJALENGKA, JAWA BARAT
Sentra anyaman bambu Majalengka: Kredit boleh, yang penting barang cepat laku (3
Selain menjual ke pengepul, para perajin anyaman bambu di Desa Salagedang, Majalengka, Jawa Barat, juga memiliki cara lain yang unik agar produknya laris. Mereka menjual anyaman bambu dengan sistem yarnen (bayar panen). Sasarannya para penduduk desa sekitar wilayah mereka. Kalau hanya menjual ke pengepul, pendapatan mereka cuma Rp 300 000 hingga Rp 400 000 per bulan.

Tapi dengan sistem yarnen, penghasilan mereka bisa meningkat berlipat. Umumnya, para petani yang memanfaatkan penjualan ala yarnen ini. Perajin menjual produknya ke petani secara kredit dan baru dibayar setelah masa panen tiba.

Meski berisiko, cara penjualan ini ternyata cukup ampuh mendongkrak pendapatan perajin. Meski musiman, tapi permintaan cukup banyak. Terkadang perajin terpaksa harus membeli barang dari pengepul untuk dijual lagi dengan sistem bayar setelah panen. Umumnya, para perajin menjual produk anyaman bambu tersebut ke desa-desa sekitar wilayah mereka.

Tatang Sukmana, salah satu warga desa Salagedang, Sukahaji, mengatakan, banyak perajin di desanya yang menjual produk anyaman bambu dengan sistem yarnen ini.

Bahkan, bila permintaan melimpah, ada perajin yang nekat mengambil risiko meminjam dana ke bank sebagai modal berjualan.

Tapi itu tak berlaku bagi perajin yang modalnya sudah tebal. Tatang mengakui sistem penjualan secara kredit dan baru dibayar setelah panen itu memang berisiko. Tapi, kata dia, dengan cara ini pula, perajin bisa menaikkan harga jual produk sampai dua kali lipat.

Harga naik berlipat karena tenggat waktu pembayaran bisa mencapai tiga bulan hingga masa panen tiba.

Barang yang dibeli si pembeli pun biasanya tidak sedikit, sehingga duit yang berputar pun cukup besar. "Sambil menunggu masa pembayaran, para perajin ini pun menganyam," ujar Tatang.

Risiko dari sistem penjualan seperti ini adalah ketika petani gagal panen. Kalau sudah begitu, perajin hanya bisa pasrah dan biasanya mereka memperpanjang jatuh tempo pembayaran tiga bulan lagi untuk masa panen berikutnya. Kalau gagal lagi, ya siap-siap saja merugi.

Risiko yang besar ini pula yang membuat Nuroh Jamin, perajin dan pemilik kios anyaman bambu di Salagedang, ogah ikut-ikutan menjual anyaman bambu dengan sistem yarnen.

Ia lebih memilih menjadi pedagang grosir anyaman saja. "Percuma jika punya banyak pelanggan kalau tidak bisa ditagih," ujar Nuroh.

Tapi, sistem yarnen ini memang banyak dilakukan oleh para perajin di desanya. Sebab, kalau hanya pasif menunggu pembeli, rezeki lama datangnya.
Sumber:
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-anyaman-bambu-majalengka-masih-bertahan-walau-mulai-tersisih-1
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-anyaman-bambu-majalengka-harga-jual-anyaman-bambu-sulit-naik-2
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/sentra-anyaman-bambu-majalengka-kredit-boleh-yang-penting-barang-cepat-laku-3

1 comment: